KONTAN.CO.ID – Oleh: Dinni Syalsabila Safira, pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Selama pandemi Covid-19, masyarakat kini lebih memilih menabung dan berinvestasi daripada membelanjakan uangnya. Hal ini diakibatkan oleh pergerakan yang dibatasi yang membuat masyarakat menunda konsumsi. Merujuk data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per akhir Agustus 2021, jumlah Single Investor Identification (SID) saham telah mencapai 2.697.832 SID atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan data akhir 2020. Sehingga total investor pasar modal saat ini tercatat 6.100.525 atau tumbuh 57,2% dari data jumlah investor akhir tahun 2020.

Menjadi investor yang baik tentunya harus paham kewajiban perpajakannya. Berapa pajak yang dibayar dan bagaimana tata cara pelaporannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan? Simak penjelasan berikut ini.

Pada aplikasi atau web perusahaan sekuritas biasanya terdapat menu SPT Tahunan atau Tax Report (Laporan Pajak). Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen yang nantinya diperlukan dalam pelaporan SPT Tahunan. Dokumen-dokumen tersebut antara lain:

Trade Recapitulation Summary (Ringkasan Rekapitulasi Penjualan)

Stock Dividend Listing (Daftar Penerimaan Dividen)

Client Portofolio (Portofolio Nasabah)

Rekening Dana Nasabah (RDN)

Ada 2 macam penghasilan yang didapatkan ketika berinvestasi saham yaitu penghasilan atas penjualan saham dan penghasilan dividen. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 282/KMK.04/1997, penghasilan atas penjualan saham dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,1% dari seluruh nilai penjualan (net amount). PPh ini dikenakan saat transaksi penjualan saham saja dan dibayarkan melalui pihak sekuritas. Sedangkan penghasilan dividen dikenai PPh final sebesar 10% dari jumlah penghasilan dividen yang diterima. Oleh karena pajaknya bersifat final, maka jumlah penghasilannya tidak diperhitungkan atau dijumlahkan lagi ketika menghitung penghasilan neto sehingga tidak memengaruhi jumlah PPh terutang.

Lalu di bagian mana pajak final ini dilaporkan?

1. Pengisian Kolom Penghasilan

Saat pelaporan SPT Tahunan, penghasilan ini dilaporkan pada bagian penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final.

Penghasilan atas penjualan saham dimasukkan pada bagian nomor 3 yaitu penjualan saham di bursa efek. Untuk mengisi pos ini, diperlukan data-data dari Trade Recapitulation Summary (Ringkasan Rekapitulasi Penjualan).

Penghasilan Dividen dimasukkan pada bagian nomor 12 yaitu dividen. Untuk mengisi pos dividen ini, diperlukan data-data dari Stock Dividend Listing. Kolom PPh terutang diisi dengan total PPh final atas penghasilan dividen dalam satu tahun. Data-data tersebut seperti Dasar Pengenaan Pajak (DPP)/penghasilan bruto yang dapat dilihat pada bagian amount dan PPh terutang yang ada pada bagian Income Tax.

2. Pengisian Kolom Harta

Selain mengisi kolom penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final, selanjutnya kita juga harus mengisi kolom harta.

– Kolom harta yang diisi adalah pos nomor 31 yaitu saham yang dibeli untuk dijual kembali. Untuk mengisi bagian ini, diperlukan data-data dari client portofolio.

– Kolom harta yang harus diisi selanjutnya adalah pos nomor 19 yaitu Setara Kas Lainnya. Sisa dana yang tidak dipergunakan untuk pembelian saham yang di dalamnya termasuk penghasilan dividen dan penghasilan dari penjualan saham tentunya menjadi saldo RDN. Sisa saldo yang tersisa di RDN inilah yang nantinya diisikan pada kolom setara kas lainnya.

Bagaimana kawan pajak? Sangat mudah bukan?

Lantas bagaimana jika saham yang belum dijual atau saldo di RDN lupa dilaporkan pada SPT Tahunan?

Jangan khawatir, kan ada PPS! Apa sih PPS itu? PPS atau Program Pengungkapan Sukarela adalah program baru yang dibuat Direktorat Jenderal Pajak berupa pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Apabila wajib pajak memiliki aset misal berupa saham yang belum dijual atau memiliki saldo di RDN, maka aset tersebut wajib dilaporkan pada SPT Tahunan setiap tahunnya. Apabila pemilik aset saham tersebut mengikuti PPS kebijakan II, maka wajib pajak wajib membayar PPh final sesuai dengan tarif sebagaimana pada Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS yang besarnya paling tinggi 18% dikalikan dengan nilai harta yang belum diungkapkan. Apabila tidak mengikuti PPS, maka Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum melaporkan hartanya di tahun 2016 – 2020 akan dikenakan PPh final dengan tarif 30% (Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) ditambah sanksi keterlambatan. Kemudian bagi wajib pajak yang pernah mengikuti Program Tax Amnesty dan belum melaporkan hartanya secara lengkap maka akan dikenakan PPh final sebesar 25% untuk Wajib Pajak Badan, 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dan 12,5% untuk wajib pajak tertentu dari harta bersih tambahan (PP 36/2017 tentang Tax Amnesty) ditambah sanksi administrasi hingga 200% atas keterlambatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan dengan mengikuti PPS, pajak yang dibayarkan akan lebih rendah bila dibandingkan jika tidak mengikuti PPS. Perlu diketahui, program ini hanya berlaku selama 6 bulan hingga 30 Juni 2022.

Jadi tunggu apa lagi? Yuk ikut PPS Sekarang.

Ungkap hartamu, mumpung ada PPS!

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Artikel ini diambil dari: https://keuangan.kontan.co.id/news/ungkap-hartamu-mumpung-ada-pps