KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) baru untuk melaksanakan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). PP yang dimaksud adalah PP Nomor 55 Tahun 2022 yang salah satunya mengatur terkait pajak yang diberikan perusahaan alias pajak natura.
Dalam Pasal 30 PP tersebut, pemberi kerja atau pemberi penggantian imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, penerapan pajak natura di Indonesia memang memiliki dampak positif. Pertama, mencegah tax planning yang timbul dari adanya kenaikan tarif PPh Orang Pribadi (OP), khususnya shifting penghasilan berupa tunai ke bentuk natura.
Kedua, Bawono bilang, penerapan pajak natura guna mengurangi ketimpangan. Pasalnya, kelompok karyawan berpenghasilan tinggi umumnya mendapatkan fasilitas atau natura lebih besar dari karyawan lain. Jika tidak dipajaki, maka ketimpangan akan semakin tinggi.
“Ketiga, sejalan dengan praktik Internasional yang sudah banyak menerapkan pajak natura (fringe benefit tax),” ujar Bawono kepada Kontan.co.id, Rabu (28/12).
Hanya saja, dirinya mengatakan, tantangan sesungguhnya mengenai pajak natura justru terletak pada desain ketentuan teknisnya. Misalnya saja, dalam UU HPP dan PP 55 Tahun 2022, pengenaan pajak natura bersifat negative list atau hanya mengecualikan jenis natura/kenikmatan yang disebutkan, sedangkan di luar itu seolah dipajaki.
Oleh karena itu, menurut Bawono, ada baiknya bahwa skema pengenaan pajak natura dalam ketentuan teknis di level PMK diubah menjadi berbentuk positive list. Artinya, pajak natura hanya akan dikenakan pada jenis natura dan/atau kenikmatan tertentu yang secara jelas, detail, dan eksplisit tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Bawono juga menuturkan, penerapan positive list juga sejalan dengan praktik Internasional. Berdasarkan studi dari DDTC Fiscal Research & Advisory, ada sekitar 34 dari 46 negara di dunia menganut skema positive list.
“Dengan demikian ada kepastian bagi wajib pajak mengenai apa-apa saja natura yang harus dihitung, dibayar, dan dilaporkan pajaknya,” katanya.
Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya ruang lingkup natura, misalkan yang sifatnya sulit diatribusikan secara individual karena bersifat kolektif ataupun jenis natura/kenikmatan tertentu yang diberikan dalam rangka mendukung produktivitas.
Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/wajib-pajak-menanti-aturan-teknis-terkait-pajak-natura