Indonesia termasuk negara yang memiliki rasio pajak rendah. Penyebab utamanya adalah rendahnya kontribusi pajak penghasilan (PPh) perseorangan, terutama dari pengusaha (pengusaha besar, menengah atau kecil) dan pekerja bebas (profesional), misalnya pengacara, konsultan, arsitek, notaris, dokter dan sebagainya. Sebagai perbandingan, kontribusi PPh tahun 2017 yang dibayar karyawan (dalam hal ini mereka yang dibayar para pengusaha) sebesar Rp 117,74 triliun, sedangkan pengusaha atau pekerja bebas hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 7,83 triliun.

Penyebab lainnya adalah masih tingginya underground economy di Indonesia. Aktivitas underground economy berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Hasil penelitian Mulyawan (2017) secara empiris mengestimasi nilai underground economy berkisar antara Rp 289 triliun sampai Rp 958 triliun atau setara dengan 22,1% terhadap PDB.

Sementara itu, potensi pajak yang hilang berkisar antara Rp 23,32 triliun hingga Rp 1.467 triliun dengan rata-rata per tahun mencapai Rp 487,12 triliun atau setara dengan 1,9% dari PDB. Berbagai langkah telah ditempuh untuk memperluas basis pajak, salah satunya adalah dengan program pengampunan pajak.

Adapun definisi underground economy kurang lebih mirip cash economy dengan ciri khas menghindari transaksi yang tercatat oleh institusi yang resmi. Dengan demikian, hal tersebut berkaitan dengan inklusi keuangan.

Hasil survei Bank Dunia tahun 2014 menunjukkan bahwa hanya 36% penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal. Sementara itu, UMKM sebagai lembaga yang paling dominan di Indonesia, hanya 59% yang memiliki rekening dan 26% yang memiliki akses kredit.

Rendahnya tingkat literasi keuangan, hanya mencapai 22%, membuat inklusi jasa keuangan masih menjadi permasalahan tersendiri. Bandingkan dengan Thailand dan Malaysia dengan tingkat pencapaian sekitar 80%, bahkan Singapura sudah mencapai 96%.

Sejatinya, berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk memperluas keuangan inklusif. Kebijakan ini bertujuan untuk pendalaman layanan keuangan pada seluruh lapisan masyarakat.

Layanan keuangan tersebut berupa pemanfaatan produk dan jasa keuangan formal seperti sarana menyimpan uang yang aman, transfer, menabung maupun pinjaman dan asuransi. Meskipun akses masyarakat terhadap layanan keuangan di Indonesia masih terbatas, tetapi dapat dipercepat dengan perluasan akses keuangan melalui teknologi digital.

Salah satu metode yang digunakan adalah pemanfaatkan terobosan baru di bidang ekonomi digital, dalam bentuk transaksi jasa sektor keuangan atau teknologi finansial. Saat ini terdapat sekitar 184 penyedia teknologi finansial yang sebagian besar sudah tergabung dalam Fintech Indonesia, yang sebagian besar merupakan perusahaan start up.

Cakupan bisnis perusahaan teknologi finansial ini meliputi penyediaan software dan aplikasi keuangan pembayaran dan pembiayaan.  Jasa asuransi, perencanaan keuangan personal, investasi ritel, crowdfunding, remitansi, pembanding layanan finansial, maupun riset keuangan juga termasuk di dalamnya.

Meskipun membantu percepatan inklusi keuangan, peran regulator, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tetap dibutuhkan. Bank Indonesia berperan merespon kebijakan dalam bentuk mengakomodir inovasi, meningkatkan keamanan, membentuk level of playing field bagi seluruh pelaku industri dan melakukan perlindungan konsumen.

Perluasan basis pajak

Setelah pelaksanaan pengampunan pajak, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2017. Dalam proses hukum berikutnya Perppu ini disahkan menjadi Undang-Undang sehingga telah memiliki kekuatan hukum.

Berdasarkan UU tersebut, Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki akses informasi terhadap lembaga jasa keuangan untuk memperluas basis pajak. Tetapi, informasi yang didapatkan adalah harta, sedangkan yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Otoritas pajak harus melakukan prosedur lain untuk membuktikan bahwa aset tersebut adalah penghasilan tahun-tahun sebelumnya yang belum dilaporkan.

Ketika pemerintah telah memiliki hak untuk mengetahui aset moneter penduduknya, terdapat kemungkinan bahwa wajib pajak akan mencari celah menghindari pajak. Uang bersifat fungible, setiap saat terus bergerak dan teknologi finansial lebih mempercepat velocity of money.

Dengan demikian, teknologi finansial dapat menjadi wahana baru untuk menghindari pajak. Terdapat kemungkinan perpindahan dana dari lembaga jasa keuangan konvensional kepada penyedia teknologi finansial. Sementara itu, Fintech Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi keuangan sebagaimana diatur dalam UU tersebut.

Jika teknologi finansial berkembang sangat cepat di masa mendatang, maka akan terdapat banyak data transaksi keuangan yang masih belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Undang-undang perpajakan, seperti disebutkan dalam pasal 35 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, masih belum mengatur khusus tentang hal tersebut. Untuk saat ini, otoritas pajak masih berkutat dengan permasalahan bagaimana menetapkan perlakuan perpajakan terhadap teknologi finansial.

Belum ada perlakuan pajak yang spesifik dan masih menggunakan pendekatan bahwa secara substansi tidak ada perbedaan. Penyedia jasa teknologi hanya memberikan alternatif metode transaksi. Akan tetapi, sebagian besar perusahaan start up masih tergolong infant industry sehingga yang dituntut oleh perusahaan tersebut adalah relaksasi peraturan perpajakan.

Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menemukan win-win solution dari kondisi tersebut. Otoritas pajak dapat memberikan fasilitas perpajakan dengan pertukaran informasi para pelaku  teknologi finansial.

Seharusnya pemerintah segera mengeluarkan peraturan tentang data yang disimpan seluruh penyedia jasa teknologi, bukan hanya data tentang finansial. Misalnya Google yang bisa memiliki data bersifat personal pemilik akunnya berdasarkan kebiasaan yang dilakukannya. Beberapa negara, misalnya Uni Eropa, umumnya telah melakukan penyesuaian kewajiban hukum atas data yang dimiliki oleh pihak ketiga agar data tersebut tidak disalahgunakan tetapi justru digunakan bagi kemaslahatan bersama.

 

Artikel diambil dari http://analisis.kontan.co.id/news/perluasan-basis-pajak-dengan-tekfin