Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan pemerintah yang menerbitkan insentif perpajakan dari mulai pemberian tax holiday bagi penanaman modal minimal Rp30 triliun, relaksasi restitusi, hingga yang terakhir penundaan pelaksanaan kewajiban pencantuman nomor induk kependudukan (NIK) dalam faktur elektronik layak diapresiasi.

Namun, di sisi lain, perbaikan dari aspek administrasi perpajakan juga tak bisa ditawar lagi.

Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan paket kebijakan ini menunjukan respons kebutuhan publik dan menjalankan peran sebagai regulator di tengah situasi perekonomian nasional yang sedang bergeliat bangkit.

Terkait dengan restitusi misalnya, kebijakan ini sangat dinantikan para pelaku usaha termasuk wajib pajak karyawan yang selama ini harus menjalani proses pemeriksaan pajak sebelum mendapatkan pengembalian.

Meski proses ini didasarkan pada UU Perpajakan, dalam praktiknya tidak efektif dan cenderung memberatkan baik bagi wajib pajak maupun Ditjen Pajak.

“Proses pemeriksaan yang memakan waktu cukup lama dengan tata cara baku yang harus dilalui berpotensi meningkatkan biaya kepatuhan bagi wajib pajak dan biaya administrasi bagi Ditjen Pajak,” jelasnya.

Energi yang seharusnya dapat diarahkan untuk memeriksa wajib pajak yang lebih potensial seperti SPT berstatus kurang bayar, terkuras habis. Pemeriksaan yang cukup rumit dan panjang juga berisiko menurunkan tingkat kepatuhan karena banyak wajib pajak yang menghindari proses pemeriksaan dengan memilih tidak mengajukan klaim restitusi.

“Jangan sampai hal-hal prosedural menjadi disinsentif bagi wajib pajak. Tak perlu dipertahankan adagium lama dalam birokrasi “sepanjang bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Sejauh bisa menjadi kurang bayar, buat apa harus dikembalikan,” ujarnya.

Kini, lanjutnya, setelah pengeluaran paket kemudahan berusaha ini upaya membangun compliance risk management (CRM) sebagai dasar pemeriksaan berbasis risiko dan pengembangan core tax system wajib didukung Presiden dan DPR, juga seluruh pemangku kepentingan.

“Melalui reformasi administrasi ini, pemeriksaan pajak akan lebih terukur, tepat sasaran, berdampak besar pada kepatuhan, dan berkontribusi pada peningkatan penerimaan pajak,” jelasnya.

Di samping itu, masih lemahnya kedudukan Ditjen Pajak dalam tata hubungan kelembagaan antarpenegak hukum perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari Presiden dan DPR. Kriminalisasi terhadap para petugas pajak yang menjalankan tugas sesuai UU harus dihentikan.

Perlu payung hukum yang menjamin dan memastikan adanya koordinasi dan sinergi kelembagaan yang baik, jangan sampai niat baik terkait kemudaha berusaha justru dianggap sebagai tindakan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Maka Perpres Perlindungan Hukum perlu segera diterbitkan agar menjadi dasar hukum.

“Jika otoritas pajak saja bersedia melepaskan sebagian kewenangan yang dimiliki demi kepentingan bangsa yang lebih besar, tentu saja tidak keliru jika kita menuntut komitmen dari seluruh wajib pajak untuk berlomba menjadi wajib pajak patuh,” paparnya.

 

Artikel ini diambil dari http://finansial.bisnis.com/read/20180331/10/772024/perbaikan-administrasi-pajak-tak-bisa-ditawar