Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan akan segera mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru dalam rangka merespons tingginya impor seiring dengan semakin berkembangnya e-commerce.
Dalam rangka menciptakan level playing field antara pelaku usaha di e-commerce dan pelaku usaha konvensional, pemerintah akan menurunkan de minimis value bea masuk impor barang kiriman dari yang saat ini sebesar US$75 menjadi US$3 per consignment note (CN).
Seiring dengan meningkatnya transaksi melalui e-commerce, Direktur Jenderdal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengungkapkan bahwa impor barang kiriman terus meningkat dari tahun ke tahun.
Secara nilai, impor barang kiriman pada 2017 tercatat mencapai US$290,07 juta dan meningkat menjadi US$540,91 juta pada 2018. Pada 2019, untuk sementara tercatat impor barang kiriman sudah mencapai US$673,87 juta.
Jumlah dokumen CN atau jumlah pengiriman pun turut meningkat. Pada 2017, jumlah dokumen CN tercatat mencapai 6,1 juta dokumen dan meningkat menjadi 19,57 juta pada 2018. Per 2019, untuk sementara tecatat terdapat 48,69 juta dokumen CN.
Dari sisi jumlah, 98,65% dari dokumen barang kiriman merupakan barang kiriman dengan nilai di bawah US$75. Dari sisi harga, 83,88% barang kiriman memiliki harga di bawah US$75.
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Arif Baharudin mengatakan bahwa secara rata-rata barang yang masuk melalui mekanisme impor barang kiriman tercatat hanya US$3,8 per CN. Dengan ini, banyak impor barang kiriman yang tidak dikenai bea masuk dan oleh karena itu perlu diadakan penyesuaian de minimis value.
“Kita sudah benchmarking dan bahkan ada beberapa negara yang tanpa de minimis value seperti Kostarika dan El Salvador,” ujar Arif, Senin (23/12/2019).
Sebagai pembanding, negara-negara yang tidak menetapkan de minimis value, yang berarti mengenakan bea masuk atas seluruh impor barang kiriman, antara lain Kostarika, El Salvador, Bangladesh, dan Paraguay.
Negara-negara lain seperti Liberia, Ghana, dan Madagaskar pun telah menetapkan de minimis value yang lebih rendah dibandingkan dengan nominal yang akan diberlakukan oleh Indonesia. Ketiga negara tersebut tercatat menetapkan de minimis value sebesar US$2.
Selain menurunkan de minimus value bea masuk, de minimus value pajak dalam rangka impor (PDRI) juga diturunkan dari US$75 per CN menjadi tanpa de minimus value. Dengan ini, semua barang impor kiriman bakal dikenai PDRI berapapun nilai barangnya.
Sebagai kompensasi atas turunnya de minimis value bea masuk dan PDRI, Kementerian Keuangan melakukan rasionalisasi tarif dengan menurunkan tarif dari 27,5%-37,5% yang terdiri dari bea masuk sebesar 7,5%, PPN 10%, PPh 10% bagi pemegang NPWP atau PPh 20% bagi yang tidak memiliki NPWP menjadi 17,5% dengan perincian bea masuk 7,5%, PPN 10%, PPh 0%.
Meski demikian, terdapat perlakuan khusus atas tiga produk yakni sepatu, tas, dan TPT. Khusus untuk tiga komoditi tersebut, tetap diberikan de minimis value untuk bea masuk sampai dengan US$3 dan selebihnya diberikan tarif normal (MFN) yaitu bea masuk untuk tas 15$-20%, sepatu 25$-30%, produk tekstil 15%-25%, PPN 10%, dan PPh 7,5%-10%.
“Perlakuan khusus ini bertujuan untuk melindungi UMKM yang bergerak di sektor tersebut,” ungkap Heru, Senin (23/12/2019).
Selain itu impor barang kiriman berupa sepatu, tas, dan TPT juga tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk lain.
“Dengan adanya aturan ini, diharapkan fasilitas de minimis value benar-benar dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi dan dapat mendorong masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri,” kata Heru.
Selain menurunkan de minimis value, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga menggandeng platform e-commerce. Ke depan, sistem informasi platform e-commerce bakal terhubung langsung dengan sistem DJBC.
Heru mengatakan dengan mekanisme ini maka praktik under invoice dan missdeclaration dapat dikurangi dan tidak ada lagi perbedaan data antara deklarasi impor barang kiriman dan angka riil dari impor barang kiriman.
“Timbal baliknya, akan ada perbedaan treatment antara platform yang terhubung dengan DJBC dengan mereka yang tidak,” ujar Heru.
Saat ini, DJBC sudah melaksanakan piloting sharing data dengan 3 platform e-commerce antara lain Lazada, Blibli, dan Bukalapak.
Arif mengatakan bahwa beleid terbaru ini akan segera diajukan kepada Kementerian Hukum dan HAM pada tahun ini dan akan diundangkan dalam waktu kurang lebih 1 minggu setelah PMK tersebut disampaikan. PMK terbaru ini akan berlaku efektif 30 hari setelah diundangkan.
Public Policy and Government Relations Manager Indonesia E-Commerce Association (idEA) Rofi Uddarojat mengatakan pihaknya akan melalukan kajian lebih lanjut mengenai kebijakan terbaru Kementerian Keuangan ini.
Rofi juga menegaskan bahwa sesungguhnya transaksi crossborder melalui e-commerce secara proporsi sesungguhnya tidak signifikan, tidak mencapai 10% dari keseluruhan transaksi.
Artinya, sebagian besar barang yang diperdagangkan melalui e-commerce merupakan produk lokal ataupun barang impor yang sudah masuk sebelum terjadinya transaksi di e-commerce.
Tak berselang lama setelah diumumkannya kebijakan baru mengenai impor barang kiriman ini, sudah muncul petisi online yang menolak kebijakan terbaru ini.
Melalui situs change.org, pembuat petisi Irwan Gunthoro mengatakan bahwa kebijakan terbaru ini tidak adil bagi pengrajin karena masih banyak bahan baku yang tidak tersedia di Indonesia sehingga perlu diimpor.
Selain itu, kebijakan ini juga disebut bisa merugikan importir kecil yakni supplier dropshiping online shop.
Artikel ini diambil dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20191226/259/1184522/impor-barang-online-sekarang-jadi-mahal