KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Anggota Komixi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menyampaikan tidak setuju dengan wacana tax amnesty jilid II. Menurut dia, dampak program tersebut sangat tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan Indonesia.
Andreas menegaskan tidak saja mengingkari komitmen tahun 2016 bahwa tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi, pelaksanaan tax amnesty jilid II akan meruntuhkan kewibawaan otoritas yang pada gilirannya berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak.
“Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak patuh, dan wajib pajak yang sudah diaudit – akan tercederai. Secara psikologis hal ini juga buruk karena dapat menciptakan paham; saya lebih baik tidak patuh karena akan ada tax amnesty lagi,” kata Eddy kepada Kontan.co.id, Minggu (23/5).
Andreas mengungkapkan saat tax amnesty tahun 2016 lalu diimplementasikan didasari atas wujud keterbukaan dan kebaikan pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan menunda penegakan hukum yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh wajib pajak.
Pada saat itu, diterapkan tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya toga tahun, dan mendapatkan pengampunan pajak tahun 2015 dan sebelumnya.
Apalagi Ditjen Pajak masih memberikan kesempatan wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti program Pengungkapan Aset Sukarela dengan tarif Final (PAS Final) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017. Wajib Pajak membayar PPh terutang dan mendapat keringanan sanksi administrasi. Hal ini seharusnya diikuti para wajib pajak dengan sebaik-baiknya.
Pasca-amnesti pemerintah dan DPR menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data/informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko.
Untuk itu, Andreas mengatakan pihaknya mendorong Ditjen Pajak mengoptimalkan tindak lanjut data/informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan yang lebih baik.
Setali tiga uang, Andreas bilang tax amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan.
“Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang memberlakukan tax amnesty,” ujar Andreas.
Untuk itu, Anggota Fraksi PDIP tersebut merekomendasikan guna memfasilitasi para wajib pajak yang ingin patuh dan mempertimbangkan kondisi pandemi, Pemerintah lebih baik membuat program pengungkapan aset sukarela atau Voluntary Disclosure Program(VDP) dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi.
“Tarif lebih rendah dapat diberikan untuk yang melakukan repatriasi dan/atau menginvestasikan dalam obligasi pemerintah. Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hukum yang konsisten dan terukur,” tegas Andreas.