KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sampai dengan kuartal III 2019, perbankan masih mencatatkan pertumbuhan deposito kendati kondisi di pasar relatif ketat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Agustus 2019 mencatat total deposito masih tumbuh sebesar 7,85% secara year on year (yoy) menjadi sebesar Rp 2.628,31 triliun.
Angka tersebut mewakili sekitar 45,23% dari total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 5.811,58 triliun pada periode Agustus 2019. Kendati hanya tumbuh satu digit, faktanya deposito tumbuh lebih tinggi dibandingkan dana murah (current account and saving account/CASA) yang hanya naik 6,45% secara tahunan.
Sejumlah bankir yang dihubungi Kontan.co.id mengamini bahwa peningkatan deposito yang lebih tinggi diperuntukkan sebagai sumber pendanaan kredit sekaligus untuk mendiversifikasi dana jangka panjang.
Ambil contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya yang menyebut deposito berhasil tumbuh 11%-13% secara yoy per September 2019. Sedangkan CASA tumbuh lebih pelan yakni di kisaran 8%-9%. Direktur BCA Santoso Liem menjelaskan hal tersebut disebabkan oleh masih kecilnya dominasi deposito di struktur DPK perusahaan.
“Deposito terhadap total DPK kami di kisaran 22%. Sedangkan CASA rata-rata selalu di kisaran 76%-78%,” terangnya kepada Kontan.co.id, Rabu (23/10). Ia juga menjelaskan, pihaknya memang tidak memiliki target spesifik terkait penggalangan dana deposito.
Lagipula, hampir seluruh dana tersebut berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh BCA. Tercermin dari posisi loan to deposit ratio (LDR) yang stabil di bawah 80%. Alhasil, sampai dengan saat ini BCA mengaku belum memiliki urgensi untuk menggalang dana lebih besar seperti penerbitan surat utang untuk memenuhi permintaan kredit.
“Porsi deposito bagi kami untuk balancing, terutama menjaga asset management BCA,” terangnya.
Sampai akhir tahun ini, bank swasta terbesar ini juga tak mematok pertumbuhan DPK tinggi yakni di kisaran 8%-9% saja.
Senada, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga menyatakan posisi CASA masih mendominasi struktur pendanaan perusahaan alias 62%-65% dari total DPK. Wakil Direktur Utama BNI Herry Sidharta menyebut kalaupun ada kebutuhan kredit yang membutuhkan dana besar pihaknya tetap bisa menggali deposito maupun opsi pendanaan non konvensional.
“Dana non konvensional kami memang selalu dijaga sekitar 15%-20% dari total keseluruhan dana,” terangnya, Selasa (23/10). Bank berlogo 46 ini pun mengaku tak lagi tertarik bersaing memperebutkan deposito lantaran tengah fokus meningkatkan porsi CASA di atas 62%.
Adapun, target DPK BNI sampai akhir tahun ini dipatok naik 12%-14% secara yoy. Sekadar informasi saja, sampai dengan Agustus 2019 lalu total deposito BNI memang tumbuh kecil yakni 4,61% secara yoy dari Rp 190,01 triliun menjadi Rp 198,78 triliun.
Setali tiga uang, salah satu bank yang mengandalkan deposito sebagai sumber pendanaan yakni PT Bank OCBC NISP Tbk juga menyatakan rencana pengurangan porsi deposito.
Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja secara tegas menyebut porsi deposito per September 2019 hanya berkisar 60% saja. Jumlah tersebut sudah menurun dari periode setahun sebelumnya yang ada di kisaran 63%-64%.
“Target kami sampai akhir tahun juga di kisaran 60% saja,” tuturnya. Lebih lanjut, bank bersandi saham NISP ini menambahkan pihaknya juga tidak mengejar pertumbuhan deposito, bahkan Parwati meyakini deposito akan tumbuh flat di akhir tahun. Tentunya hal ini dilakukan untuk menjaga biaya dana alias cost of fund (CoF).
Lagipula, jika pihaknya masih membutuhkan dana mahal, perseroan masih memiliki opsi penerbitan obligasi yang jatahnya mencapai Rp 7 triliun di tahun ini.
Di sisi lain, bank kecil seperti PT Bank Mandiri Taspen (Bank Mantap) tak menampik kalau pihaknya masih mengandalkan dana mahal sebagai penopang kebutuhan kredit. Direktur Utama Bank Mantap Josephus K. Triprakoso menjelaskan selain deposito perseroan juga tengah melakukan diversifikasi pendanaan seperti penerbitan surat utang.
Terbaru, perseroan berencana menerbitkan Penawaran Umum Terbatas (PUB) Tahap I 2019 sebesar Rp 1 triliun di tahun ini. “Kami punya jatah Rp 4 triliun untuk dua tahun, mungkin tahun depan kami lanjut lagi di kuartal I atau kuartal II,” terangnya.
Adapun, sampai dengan akhir tahun ini perseroan menargetkan dana pihak ketiga (DPK) bisa tumbuh 24%-25% secara yoy menjadi Rp 19 triliun.