KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia adalah negara sangat kaya baik dari sisi SDM maupun SDA. Jika dapat dioptimalkan, Indonesia dapat mencapai kesejahteraan. Namun setiap tahunnya Indonesia selalu menambah utang, padahal potensi penerimaan negara sangat besar.

Salah satu buktinya adalah, tax ratio Indonesia kurun waktu 8 tahun terakhir hanya satu digit, dibandingkan standar OECD sebesar 15%.

Pengamat pajak Hadi Poernomo menyebut dalam penelitian yang disusun secara ilmiah sejak September 2019, secara umum strategi optimalisasi penerimaan adalah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Dalam perwujudan optimalisasi penerimaan tersebut diperlukan adanya sebuah transparansi perpajakan.

Konsep transparansi pajak di Indonesia lahir tahun 1965 dimana Bung Karno mengeluarkan Perpu 2/1965 mengenai peniadaan rahasia bagi aparat pajak. Konsep tersebut dibangun kembali secara lebih modern dengan menggunakan IT dengan nama SIN Pajak sejak 2001 melalui Grand Strategy DJP, disusul dengan Kepber Pemerintah dan DPR pada 16 Juli 2001 yang kemudian dituangkan dalam UU 19/2001 pada November 2001.

Hasilnya adalah tax ratio Indonesia mengalami peningkatan sampai dengan lebih dari 12%. Pada tahun 2004 tercatat tax ratio Indonesia sebesar 12,3% dan tahun 2005 tax ratio Indonesia mencapai 12,5%.

Namun pemberlakuan SIN Pajak dirasa masih memiliki beberapa hambatan. Pertama, KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplifikasi) antar departemen yang kurang berfungsi. Kedua, adanya regulasi-regulasi lain yang memberikan ketentuan kerahasiaan, antara lain Keppres Nomor 68/1983 tentang Deposito, SK Direksi BI Nomor 27/121/KEP/DIR tentang Penyampaian NPWP dan LK dalam Permohonan Kredit, UU Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal, UU Nomor 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, UU Nomor 10/1998 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dan UU Nomor 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa.

Ketiga, adanya inkonsistensi regulasi. “Keempat, adanya anggapan bahwa SIN Pajak merupakan data mati dan mahal,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (28/5).

Mantan dirjen pajak ini menyebut pada Juli 2007, DPR mengesahkan UU 28/2007 dimana SIN Pajak diatur dalam Pasal 35A yang memberikan pengaturan bahwa adanya kewajiban semua pihak baik pemerintah pusat/daerah, lembaga, swasta dan pihak lain wajib untuk saling membuka data non rahasia baik yang finansial/non finansial dan interkoneksi dengan sistem perpajakan DJP.

UU ini memberikan jawaban kurang berfungsinya KISS, dan berhasil menghapus beberapa ketentuan kerahasiaan, meskipun belum seluruh UU yang terdapat pengaturan mengenai kerahasiaan.

Akhirnya Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu 1/2017 yang mengatur secara khusus mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka memenuhi komitmen AEOI yang kemudian pada Agustus 2017 disahkan oleh lembaga legislatif melalui UU
9/2017. UU ini menggugurkan ketentuan kerahasiaan dalam beberapa UU yang belum dapat dihapuskan oleh UU 28/2007.

Sebagai peraturan pelaksanaan UU 28/2007, Pemerintah mengesahkan PP 31/2012 sebagai peraturan pelaksanaan atas UU tersebut. Namun adanya delegasi peraturan pelaksanaan untuk diatur dalam PP yang ternyata disubdelegasikan dalam peraturan menteri serta perdirjen sehingga tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan. Selain itu adanya substansi pengaturan yang melampaui peraturan yang di atasnya, antara lain adanya penambahan fasilitas, pembatasan penggunaan dan pembatasan nilai yang berarti peraturan di bawahnya melampaui peraturan di atasnya.

“Pembentukan peraturan yang tidak sesuai kaidah tersebut, ternyata memiliki efek yang lebih luas. Dengan peraturan yang tidak sesuai kaidah menyebabkan peraturan yang terbentuk tidak dapat diimplementasikan,” kata dia.

Akibatnya KISS yang terbentuk dalam level UU secara pelaksanaan tidak dapat diimplementasikan karena pengaturan yang disubdelegasikan tidak dapat mengatur pada tingkatan koordinasi yang seharusnya. Akibatnya tax ratio dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2020 tax ratio Indonesia hanya mencapai 7%.

SIN Pajak disebutnya memberikan solusi konkret dalam rangka optimalisasi penerimaan perpajakan. Dengan menggunakan konsep link and match SIN Pajak, DJP akan dapat memetakan sektor mana yang belum tersentuh pajak atau celah dalam perpajakan.

SIN Pajak mampu menyediakan data wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya. Uang atau harta baik dari sumber legal maupun ilegal selalu digunakan dalam 3 (tiga) sektor, yaitu konsumsi, investasi, dan tabungan.

Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/sin-pajak-dinilai-bisa-mengoptimalisasikan-penerimaan-pajak?page=all