Bisnis.com, JAKARTA – Praktik ijon atau imbauan untuk membayar pajak kepada wajib masih dilakukan oleh petugas untuk mengejar target penerimaan pajak.

Kendati pemerintah berulangkali membantah hal tersebut dan menyamarkannya istilah ijon dengan dinamisasi, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan bahwa praktik tersebut masih langgeng dan diandalkan oleh otoritas pajak menjelang tutup tahun.

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Keuangan Kementerian Keuangan (BA-105) yang terangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1/2020 menemukan adanya pembayaran PPh pasal 25/29 badan untuk tahun pajak 2020 namun oleh otoritas pajak diakui sebagai penerimaan 2019.

Keberadaan praktik ijon ini terindikasi dari hasil uji petik yang dilakukan oleh lembaga auditor negara terhadap 20 kantor wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak atau DJP. Hasilnya, tim auditor menemukan ada lonjakan penerimaan PPh pasal 25 yang cukup signifikan dari 944 Wajib Pajak (WP) dengan total peningkatan 303,89%.

BPK menjelaskan secara rinci bahwa peningkatan nilai tersebut disebabkan karena WP telah membayar angsuran PPh pasal 25 lebih dari satu kali. Rinciannya pada tanggal 1-15 Desember, WP membayar untuk masa pajak November 2019 yang jatuh tempo pembayaran pada tanggal 15 Desember 2019.

Pembayaran kedua dan selanjutnya dilakukan pada akhir bulan untuk masa pajak Desember 2019 dan masa pajak Januari 2020 yang seharusnya dibayarkan pada tahun 2020.

Menariknya, pengujian lebih lanjut atas pembayaran PPh Pasal 25 bulan Januari dan Februari 2020 berdasarkan data modul penerimaan negara (MPN) 2020 diketahui bahwa WP yang sudah membayar dua kali pada bulan Desember 2019 tidak lagi mengangsur pembayaran pada Januari 2020.

“Hal tersebut mengindikasikan adanya percepatan pembayaran PPh Pasal 25 yang berdampak pada total penerimaan pajak Tahun 2019,” demikian penjelasan BPK yang dikutip Bisnis, Rabu (18/11/2020).

Adapun, pengujian terhadap dokumen pembayaran menunjukkan bahwa di antara pembayaran PPh Pasal 25 di bulan Desember 2019 terdapat pembayaran atas masa pajak Desember 2019 yang jatuh tempo pada 15 Januari 2020 sebesar Rp8,8 triliun. Sedangkan pembayaran untuk masa pajak Februari 2020 sebesar Rp292,04 miliar.

Sayangnya, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama & Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa tak menjawab pertanyaan terkait persoalan tersebut.

Kendati demikian, dalam jawaban tertulisnya ke BPK, Kementerian memberikan jawaban yang mencakup dua aspek. Pertama, pemerintah mengakui bahwa untuk pembayaran angsuran PPh 25 masa pajak Desember 2019 yang dibayarkan pada bulan Desember 2019 859 transaksi senilai Rp2,2 triliun merupakan pembayaran masa Desember 2019 yang dilakukan di awal.

Sementara itu, 13 transaksi senilai Rp6,18 triliun merupakan pembayaran karena dinamisasi, pembayaran sukarela, maupun karena imbauan dinamisasi PPh Pasal 25/29 dan pemenuhan kewajiban di awal waktu tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran. Meski demikian, atas dinamisasi tersebut, tim pemeriksa belum mendapatkan dokumen pendukung dari DJP. BPK juga belum mendapatkan jawaban yang memadai terkait temuan 48 transaksi senilai Rp471,2 miliar.

Kedua, untuk pembayaran PPh 21 masa pajak 2020 yang dibayarkan pada bulan Desember 2019, pemerintah telah mengklarifikasi bahwa 13 transaksi senilai Rp102,5 miliar pembayaran masa Januari dan Februari 2020 yang dilakukan di awal 2019.

Sementara itu, untuk satu transaksi senilai Rp187,8 miliar merupakan pembayaran karena adanya himbauan dinamisasi PPh Pasal 25/29 dan himbauan pemenuhan kewajiban di awal waktu tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran. Sedangkan dua transaksi senilai Rp1,6 miliar belum memberikan jawaban yang memadai.

BPK berpandangan bahwa walaupun secara administrasi perpajakan tidak melanggar ketentuan, akan tetapi secara prinsip akuntansi seharusnya diberikan perlakuan yang berbeda antara penerimaan pajak yang menjadi hak Tahun 2019 dan penerimaan pajak yang menjadi hak tahun 2020. “Hal tersebut tidak sesuai dengan kerangka konseptual akuntansi akrual karena tidak mengatur mengenai periodesitas atas pajak yang dibayarkan,” demikian disampaikan BPK.

Dalam catatan Bisnis, praktik ijon memang tidak melanggar undang-undang. Pasalnya UU PPh hanya mengatur tanggal jatuh tempo. Namun secara prinsip praktik ini telah dilarang oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati karena dianggap merusak basis data pajak yang sedang dirapikan oleh pemerintah.

Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20201118/259/1319491/praktik-ijon-pajak-terus-berlangsung-jadi-andalan-di-akhir-tahun