KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 telah menyepakati kebijakan perpajakan internasional lewat Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization  of the Economy pada pekan lalu.

Salah satu poin kesepakatan perpajakan internasional yakni terkait Pilar 2 yang  ditujukan mengatasi isu Base Erosion Profit Shifting (BEPS) untuk memastikan perusahaan multinasional dengan minimum omset konsolidasi sebesar € 750 juta membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili.

G20 berharap dengan Pilar 2 dapat menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau race to the bottom. Sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%.

Kendati demikian, Febrio tidak memungkiri, Pilar 2 mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.

“Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak  dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi,” kata Febrio, Kamis (15/7).

Dengan ketentuan tersebut, Febrio bilang keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental. “Pemerintah cukup optimis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha”, kata Febrio.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan secara umum dengan adanya skema pajak minimum di Pilar 2 akan berdampak bagi berkurangnya kompetisi pajak, mencegah perpindahan laba ke preferential tax regime, serta untuk menjamin agar prinsip single tax principle atau penghasilan dari suatu entitas jangan sampai tidak dipajaki.

Menurut Bawono, bagi Indonesia Pilar 2 membawa manfaat positif, di tengah konstelasi pajak global. Pilar 2 ini terdiri dari dua aspek. Pertama, income inclusion rules dan undertaxed payment rule yang lebih melihat dari sisi negara residen.

Yakni untuk mencegah penghasilan yang seharusnya diterima oleh negara lokasi induk perusahaan justru dilarikan ke negara lain karena tarif pajak efektif yang lebih rendah. Oleh karena itu, dibuat skema tarif efektif pajak minimum sebesar 15%.

Kedua, subject to tax rule yang lebih melihat dari sisi negara sumber penghasilan. Hal ini untuk mencegah adanya suatu skema pembayaran kepada anggota grup perusahaan yang berada di negara lain.  Padahal, kenyataannya, negara lain tersebut justru tidak memajaki penghasilan dari pembayaran pajak atau memajaki di bawah tarif efektif.

Meski begitu, tarif yang disepakati dalam Pilar 2 sebetulnya lebih rendah dari tarif yang berlaku dalam aturan saat ini. Misalnya dari 71 yuridiksi yang telah menjalin perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty secara rata-rata sebesar 10%-15%.

Misalnya, Amerika Serikat (AS) 10%, China 10%. Kemudian, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura sebesar 10%-15%. Bahkan bagi beberapa negara, tarifnya lebih rendah lagi, seperti Belanda dan Hing Kong yang sama-sama 5%.

“Salah satunya karena adanya insentif pajak. Implikasinya, tarif pajak minimum tersebut justru bisa berdampak bagi negara berkembang karena kehilangan daya saingnya untuk menarik investasi,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Sabtu (17/7).

Untuk itu, Bawono berharap hal tersebut perlu menjadi pembahasan lebih lanjut dalam forum BEPS Inclusive Framework, mengingat Indonesia menjadi salah satu anggotanya.

Sebagai informasi 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS pada Oktober 2021 nanti akan membahas lanjut detail teknis dari Pilar 2 yang ada dalam kesepakatan tersebut.

Kebijakan perpajakan internasional tersebut, rencananya akan ditandatangani di tahun 2022 dan diberlakukan secara efektif di tahun 2023.

Artikel ini diambil: https://nasional.kontan.co.id/news/ini-kata-pengamat-soal-dampak-tarif-minimum-pph-perusahaan-multinasional?page=all