Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akhirnya menyisipkan aturan perpajakan di dalam UU Cipta Kerja dengan alasan bahwa aturan pajak yang dimasukan dimaksudkan dalam rangka mendukung investasi.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa semula klaster perpajakan yang diatur dalam Omnibus Law Ciptaker memang menjadi bagian dalam Omnibus Law Perpajakan.
Namun, dalam perkembangannya karena semangatnya adalah untuk mendorong investasi, substansi UU Omnibus Law yang tidak masuk dalam cakupan Perppu Corona, dileburkan ke UU Ciptaker.
“Jadi dalam perkembangannya pemerintah dan DPR memutuskan memasukan sebagian substansi UU Omnibus Law Perpajakan ke UU CIptaker,” kata Sri Mulyani, Rabu kemarin.
Sri Mulyani menyanggah bahwa klaster perpajakan dianggap sebagai klaster siluman dalam UU Ciptaker. Menurutnya peleburan substansi perpajakan yang dimasukan dalam UU Ciptaker juga sejalan dengan tujuan utama pembahasan UU yang kini menuai banyak polemik.
Berikut ini, Bisnis merangkum poin-poin penting aturan perpajakan di dalam UU Ciptaker:
1. Perubahan dalam UU Pajak Penghasilan (PPh)
Perubahan lanskap pajak dari worldwide tax system ke territorial tax system merombak sistem pajak penghasilan atau PPh. Omnibus Law menetapkan bahwa setiap warga asing yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia praktis sebagai subyek pajak dalam negeri.
Artinya, semua jenis penghasilan yang diterima oleh orang atau badan di wilayah hukum Indonesia merupakan obyek pajak yang bisa dipungut pemerintah.
“Jadi pengenaan PPh-nya bagi warga negara asing yang merupakan subjek pajak dalam negeri adalah berdasarkan penghasilan mereka yang berasal dari Indonesia,” kata Sri Mulyani, Rabu (7/10/2020).
Dalam aturan ini, WNA dinyatakan sebagai subyek pajak dalam negeri SPDN. Yang bersangkutan akan dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima di Indonesia, dengan catatan WNA tersebut memenuhi persyaratan tertentu.
Di sisi lain, WNI dapat ditetapkan sebagai subyek pajak luar neger (SPLN) jika yang bersangkutan menjalankan ataupun usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui badan usaha tetap (BUT) di Indonesia dan apabila WNI tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan tidak menjalankan usaha ataupun melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama tak menampik perubahan mazhab pemajakan tersebut. Namun, mazhab yang dianut oleh pemerintah bukan sistem teritorial secara murni, melainkan hybrid territorial tax system.
“Teritorial kita bukan yang murni, tapi hybrid,” kata Hestu.
2. Dividen Perusahaan Asing
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mempertegas pengenaan pajak atas dividen yang diterima oleh wajib pajak (WP).
Dalam UU tersebut, pemerintah mengatakan bahwa penghasilan dividen yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP) dikecualikan dari pengenaan pajak.
Syaratnya, orang pribadi atau badan dalam negeri yang memperoleh penghasilan dividen tersebut menginvestasikannya di wilayah Indonesia.
Ketentuan ini juga berlaku bagi dividen yang berasal dari luar negeri. Hanya saja, syarat dan ketentuan berlaku yakni dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak.
Pengecualian juga berlaku, dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut.
Adapun, dividen yang berasal dari luar negeri merupakan dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek, dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.
Sementara itu, jika dividen dari dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri diinvestasikan di wilayah Indonesia kurang dari 30 persen dari jumlah laba setelah pajak berlaku 2 ketentuan.
Pertama, dividen yang diinvestasikan tersebut dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan. Kedua, atas selisih dari 30 persen laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan dikenai pajak penghasilan. Ketiga, atas sisa laba setelah pajak dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan tidak dikenai PPh.
3. Sanksi Administrasi
Pemerintah mempertahankan asas ultimum remedium dalam proses penyidikan tindak pidana pajak melaui Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law Ciptaker.
Namun, sanksi administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak (WP) tak sebesar pengaturan dalam UU KUP yang mencapai 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayar.
Dalam UU Ciptaker, WP yang ingin lepas dari jerat pidana pajak selain membayar atau melunasi utang pajak, juga hanya membayar 3 kali jumlah pajak yang belum dibayar.
“Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang pajak hanya dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,” tulis UU Ciptaker yang dikutip Bisnis, Selasa (6/10/2020).
Azas ultimum remedium menempatkan penyelesaian pidana sebagai jalan terakhir dalam proses pidana perpajakan. Dalam konteks tersebut, untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan.
Adapun, ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan diatur diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK.
4. Intervensi Pusat
Pemerintah pusat dapat mengintervensi kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Hal ini tercantum dalam UU Ciptaker.
Merujuk pada rancangan UU Ciptaker tersebut kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi dirumuskan menjadi dua. Pertama, dapat mengubah tarif pajak dan tarif retribusi dengan penetapan tarif pajak dan tarif retribusi yang berlaku secara nasional.
Kedua, pengawasan dan evaluasi terhadap peraturan daerah mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Adapun, penetapan tarif pajak yang berlaku secara nasional mencakup tarif atas jenis pajak provinsi dan jenis pajak kabupaten atau kota. Sementara tarif retribusi yang berlaku secara nasional mencakup objek retribusi yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam UU Cipta Kerja tersebut, ketentuan mengenai tata cara penetapan tarif pajak dan tarif retribusi yang berlaku secara nasional akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20201012/259/1303735/ingat-ingat-ini-4-poin-penting-soal-perpajakan-di-uu-cipta-kerja