KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Reformasi perpajakan masih terus menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Meskipun hingga saat ini belum dibahas dalam rapat-rapat di DPR RI, wacana perubahan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako tampaknya paling banyak mengundang polemik.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy, mengatakan PPN sembako seharusnya tidak mengenakan tarif pajak sembako umum. Seperti yang tertulis pada Peraturan Menteri Keuangan sebelumnya yang mengecualikan bahan pangan pokok untuk dikenai pajaknya, karena sifatnya basic needs.
“Kalau misalnya, daging wagyu dan bahan pokok premium lainnya ingin dikenakan pajak, maka mungkin bisa dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), artinya barang tersebut dikategorikan sebagai barang mewah untuk dikenakan pajaknya. Namun jika ingin mengenakan pajak ini pemerintah harus tetap melakukan revisi pada UU PPN,” ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Rabu (23/6).
Selain itu, reformasi perpajakan ini merupakan kelanjutan dari reformasi pajak yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya meskipun telah melakukan reformasi pajak, rasio pajak Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signifikan khususnya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Atas dasar ini, Yusuf mengatakan sangat wajar jika pemerintah ingin melanjutkan reformasi pajak, dengan tujuan menaikkan rasio pajak untuk membiayai belanja pembangunan ekonomi khususnya setelah periode transisi ekonomi setelah pandemi Covid-19 selesai.
Saat ini pencatatan PPN yang dibayarkan oleh masyarakat tercatat melalui sistem yang sudah ada. Bahkan pemerintah membuka restitusi bagi wajib pajak yang kelebihan dalam membayar PPN.
“Sehingga reformasi pajak yang digaungkan pemerintah saat ini kecil hubungannya terhadap pencatatan PPN itu sendiri,” ujar yusuf.
Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/ekonom-core-ppn-sembako-jangan-dikenakan-pada-kebutuhan-pokok-masyarakat