KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah bersama dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencapai kesepakatan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).  Ada yang menarik, legislator dan pemerintah mengubah istilah RUU KUP ini menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Nah, rencananya, RUU HPP ini akan segera disampaikan ke pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan pada sidang paripurna DPR RI.  Salah satu isu hangat yang terkandung dalam RUU ini adalah terkait pengampunan pajak atau tax amnesty (TA). Namun, dalam hal ini, Pemerintah dan DPR sepakat untuk menggunakan istilah Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (WP).

“WP dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta tersebut,” ujar Pasal 5 Ayat (1) Bab V dalam draft RUU yang diterima Kontan.co.id, Kamis (30/9).  Harta bersih yang dimaksud, adalah sesuai yang diatur dalam UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu nilai harta dikurangi nilai utang dan merupakan harga yang diperoleh WP sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015.

Harta bersih ini dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) bersifat final, dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.  Mengenai tarif, ada beberapa ketentuan yang ditetapkan dalam RUU ini.

Pertama, 6% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di wilayah Indonesia dan/atau Surat berharga Negara (SBN).

Kedua, harta bersih yang tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan dan/atau SBN tersebut, ditetapkan sebesar 8% dari harta bersih.  Ketiga, 6% atas harta bersih yang berada di luar wilayah Indonesia dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia dan diinvestasikan kepada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan dan/atau SBN.

Keempat, harta bersih yang berada di luar Indonesia dan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan dan/atau SBN, akan dikenakan 8% dari total harta bersih.  Atau kelima, tarif 11% atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Indonesia.

Lalu, nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besaran jumlah harta bersih ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, nilai nominal, untuk harga berupa kas atau setara kas. Kedua, nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Obyek Pajak untuk tanah dan/atau bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor, untuk kendaraan bermotor.

Ketiga, nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak.  Keempat, nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran (warrant) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia.  Kelima, nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk SBN dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan.

Namun, dengan catatan semua itu sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir, dan bila tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman untuk selain kas atau setara kas, maka nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.

Artikel ini diambil dari: https://newssetup.kontan.co.id/news/bukan-tax-amnesty-pemerintah-gelar-program-pengungkapan-sukarela-wajib-pajak?page=all.