KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kemampuan pemerintah dalam memungut pajak konsumsi alias pajak pertambahan nilai (PPN) terus membaik. Ini tercermin dari value added tax (VAT) gross collection yang menunjukkan peningkatan.
Untuk mengukur kinerja penerimaan PPN, setidaknya ada empat indikator yang dapat dipergunakan. Salah satunya adalah VAT gross collection ratio, yang dihitung dengan membagikan realisasi penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan perhitungan Kontan.co.id dengan menggunakan PDB atas dasar harga berlaku, value added tax (VAT) gross collection ratio pada kuartal III-2022 sebesar 67,10% apabila menggunakan asumsi tarif PPN sebesar 10%. Sementara itu, apabila menggunakan asumsi tarif PPN 11%, maka kemampuan pemerintah dalam memungut pajak konsumsi berada di angka 73,81%.
Angka VAT gross collection keduanya meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Misalnya saja, VAT gross collection pada tahun 2021 tercatat hanya sebesar 59,65%. Namun sebenarnya, meski telah membaik namun VAT Gross collection tersebut masih bisa dioptimalkan.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan, belum optimalnya rasio penerimaan PPN terhadap potensinya lantaran dipengaruhi oleh beberapa hal.
Menurutnya, tidak semua transaksi penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN, terutama transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak yang belum dikukuhkan semua PKP, sehingga tidak wajib membuat fatur pajak.
Selain itu, pemberian beberapa insentif pajak juga menyebabkan belum optimalnya VAT gross collection, misalnya saja PPN DTP untuk kendaraan dan properti, serta fasilitas pembebasan PPN lainnya untuk penyerahan barang untuk penanggulangan pandemi.
“Sulit untuk 100% (VAT gross collection), karena tidak semua barang dan jasa kena PPN, terus ada fasilitas juga,” ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (30/1).
Sementara itu, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, kinerja PPN sejatinya sangat dipengaruhi oleh tren konsumsi domestik Indonesia. Hanya saja, diriny melihat, adanya prospek perlambatan ekonomi Indonesia di tahun ini tidak akan terlalu berdampak besar terhadap kinerja PPN.
“Terlebih lagi mengingat bahwa struktur perekonomian Indonesia didominasi oleh konsumsi rumah tangga domestik,” ujar Bawono kepada Kontan.co.id, Senin (30/1).
Selain itu, kata Bawono, belum optimalnya penerimaan PPN juga disebabkan lantaran banyaknya skema pengecualian. Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mayoritas barang atau jasa yang sebelumnya dikecualikan kini menjadi objek PPN.
“Walau demikian, pemerintah maish memberikan fasilitas baik pembebasan atau PPN tidak dipungut. Dengan demikian, perubahan tersebut relatif berdampak netral bagi penerimaan,” katanya.
Bawono menambahkan, prospek meningkatnya VAT ratio juga dipengaruhi oleh perluasan basis pajak melalui skema atas barang/jasa tertentu semisal untuk fintech dan kripto.
Selain itu, pemerintah juga telah dan akan merilis skema pengenaan PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain serta PPN final yang diperkirakan akan menambah penerimaan khususnya sektor yang selama ini rumit administrasinya.
Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/ekonomi-2023-berat-pengamat-maklumi-rasio-perpajakan-merosot