KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Akhir-akhir ini media sosial ramai memperbincangkan wacana pungutan pajak judi online.
Perbincangan tersebut muncul ketika Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI Budi Arie Setiadi mengaku menerima usulan dari berbagai pihak untuk memberlakukan pungutan pajak judi online.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan, pihaknya belum melakukan pembahasan terkait usulan pajak judi online tersebut.
“Sampai dengan saat ini, belum ada pembahasan terkait pengenaan pajak atas judi online tersebut,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Jumat (8/9).
Merespons hal tersebut, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pungutan pajak judi online jelas bukan merupakan solusi. Bahkan wacana tersebut justru akan menimbulkan permalasalahan baru lantaran seolah pemerintah memberikan legalitas pada judi online.
“Jangan karena pencegahan dan pengawasan dianggap sulit, kemudian beralih pada pemajakan,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (10/9).
“Tidak ada jaminan ketika judi online di legalisasi lewat pajak, kemudian judi online yang lainnya bisa diberantas. Yang terjadi judi online legal exist, sementara yang ilegal tetap masih,” imbuhnya.
Menurutnya, dampak judi online akan sangat mengganggu produktivitas dan bisa memicu berbagai masalah kriminalitas lainnya. Dirinya mencontohkan, fenomena judi online saat erat kaitannya dengan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan bahwa pungutan pajak judi online tersebut bisa dilakukan melalui pajak pertambahan nilai (PPN) atas konsumsi jasa, dalam hal ini bisa melalui mekanisme PPN PMSE.
Hanya saja, Indonesia sangat tidak mungkin untuk mengimplementasikan hal tersebut mengingat ada Undang-Undang (UU) yang melarang.
“Tak mungkin juga kita mengenakan cukai tapi di UU lain melarang aktivitas tersebut,” jelas Fajry.
Berbeda dengan Indonesia, negara lain seperti Thailand memang judi online bersifat legal. Oleh karena itu, pemerintah mengenakan cukai atas jasa judi online agar orang tidak berjudi atau mengurangi demand dari berjudi.
“Tapi di sana itu legal ya, beda dengan Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menjelaskan, transaksi judi online memang merupakan bagian dari underground economy. Secara implisit, sebetulnya penghasilan dari judi online sudah menjadi objek pajak penghasilan (PPh).
Hal ini dapat dirujuk dari Pasal 4 ayat (1) UU PPH (UU Nomor 7/1983 dengan perubahan terakhir sesuai UU Nomor 6/2023 tentang Cipta Kerja.
Jadi, penghasilan menurut ketentuan tersebut mencakup lima elemen. Pertama, ada tambahan kemampuan ekonomis. Kedua, penghasilan tersebut sudah diterima (cash basis) atau diperoleh (accrual basis). Ketiga, sumbernya bisa dari dalam negeri atau luar Indonesia.
Keempat, penghasilan tersebut dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan. Dan kelima, namanya dan bentuknya bisa apapun.
Nah, berdasarkan kelima elemen tersebut, Prianto mengatakan, penghasilan dari judi sudah termasuk ke dalam objek pajak. Menurutnya, pengecakan kantor pajak juga hanya terbatas pada penghasilan yang dapat digunakan sebagai konsumsi atau menambah harta kekayaan.
“Kantor pajak tidak melihat apakah penghasilan tersebut berasal dari sumber yang halal atau haram secara agama maupun secara hukum positif di Indonesia,” jelas Prianto.