KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memiliki jurus baru dalam menutup celah penghindaran pajak.

Hal ini dikarenakan berdasarkan laporan Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada 17 Juni 2024, Indonesia masuk dalam daftar negara yang memenuhi syarat untuk mengimplementasikan Pilar1 Amount B Perpajakan Global, khususnya dalam pengertian bagian 5.2 soal praktik pemeriksaan silang antar yurisdiksi.

Namun, OECD mengatakan, meski terdaftar sebagai negara yang tercakup, tidak berarti negara tersebut berkewajiban untuk mengadopsi atau akan mengadopsi kebijakan tersebut.

“Perlu diperhatikan bahwa pernyataan minat untuk menerapkan Amount B tidak berarti bahwa suatu yurisdiksi akan melanjutkan untuk menerapkannya,” ujar Direktur Pusat Kajian dan Administrasi Pajak OECD, Manal Corwin.

Saat dikonfirmasi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti mengatakan pihaknya siap untuk mengadopsi kebijakan tersebut. Dwi bilang, saat ini pemerintah sedang membahas hal-hal teknis sebelum kebijakan yang direkomendasikan OECD tersebut dijalankan.

“Terkait masuknya Indonesia dalam kualifikasi yurisdiksi untuk implementasi Pilar I Amount B bagian 5.2 (operating expense cross-check) dan 5.3 (data availability mechanism), dapat kami sampaikan bahwa Indonesia siap mengadopsi kebijakan tersebut dan saat ini sedang dalam tahapan pembahasn hal-hal teknis,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Kamis (20/6).

Untuk diketahui, Pilar 1 Amount B memberikan penyederhanaan terhadap penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas aktivitas distribusi dan pemasaran.

Penyederhanaan ini bertujuan untuk mengurangi sengketa transfer pricing, menekan compliance cost, sekaligus memberikan kepastian bagi  otoritas pajak maupun wajib pajak.

Melalui Pilar 1 Amount B ini, perusahaan tidak perlu melakukan kajian benchmarking untuk memperoleh perusahaan pembanding.

Pilar 1 Amount B ini didesain untuk memenuhi kebutuhan yurisdiksi-yurisdiksi berkapasitas rendah (low capacity jurisdictions). Apalagi, dari laporan yurisdiksi berkapasitas rendah, terpantau sekitar 30%-70% sengketa transfer pricing bersumber dari kegiatan marketing dan distribusi.

Apabila mereka mengadopsi Pilar 1 Amount B, maka yurisdiksi berkapasitas rendah memiliki kesempatan untuk mengimplementasika aturan yang lebih sederhana guna mengamankan pendapatan negara.

Bahkan berdasarkan laporan Tax Justice Network 2024, negara-negara di dunia kehilangan pajak sebesar US$ 480 miliar per tahun akibat penyalahgunaan pajak global.

Dari US$ 480 miliar yang hilang per tahun, sebesar US$ 311 miliar hilang akibat penyalahgunaan pajak perusahaan lintas negara yang dilakukan oleh perusahaan multinasional melalui skema tranfer pricing.

Dari aspek perpajakan, transfer pricing bisa dikatakan sebagai kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Transfer pricing terjadi ketika perusahaan multinasional mencoba menghindari pajak misalnya melakukan pengalihan laba dari negara asalnya (tarif pajak tinggi) ke negara bertarif pajak rendah (tax havens).

Padahal, penerimaan pajak dari tempat perusahaan multinasional beroperasi cukup berpengaruh terhadap total penerimaan pajak tempat (negara tersebut).

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono sependapat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi Pilar 1 Amount B.

Hal ini dikarenakan bisa menjadi pelengkap aturan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023.

Prianto menjelaskan, sejatinya rujukan dari PMK 172/2023 adalah OECD Tranfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprise and Tax Administrations 2022.

Dengan begitu, pemerintah perlu merevisi aturan tersebut lantaran PMK 172/2023 belum memasukkan perubahan dalam Pilar 1 Amount B agar celah penghindaran pajak bisa tertutup secara maksimal.

“Revisi PMK 172/2023 tersebut dapat berupa legal certainty atau kepastian hukum dan ease of administration atau kemudahan administrasi,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Kamis (20/6).

Oleh karena itu, fokus utama kebijakan di Pilar 1 Amount B merupakan kepastian hukum dan kemudahan administrasi.

“Dengan demikian, otoritas pajak dapat mengalokasikan sumber daya aparaturnya ke kasus-kasus sengketa transfer pricing yang lebih kompleks lainnya,” katanya.