“Mungkin penyebabnya adalah karena masih ada keraguan dari investor. Dengan kata lain, isunya adalah kepastian hukum atas fasilitas insentif yang ditawarkan,” jelas Wahyu kepada Bisnis, Kamis (22/8/2024). Lebih lanjut, dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 dijelaskan insentif perpajakan banyak diarahkan untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang diperkirakan mencapai Rp265,6 triliun, diikuti pajak penghasilan (PPh) yang sebesar Rp144,7 triliun.
Wahyu menganggap, alokasi tersebut cukup relevan karena PPN dan PPnBM adalah jenis pajak yang melekat dengan transaksi barang serta jasa. Jika target pemerintah ingin menggenjot daya beli masyarakat maka intensif untuk PPN dan PPnBM dirasa sudah tepat. “Persoalannya adalah saya melihat pemberian insentif harus mempertimbangkan kegiatan atau sektor ekonomi yang memberikan dampak lanjutan lebih besar,” ujarnya.
Dia menerangkan, data Belanja Perpajakan yang dirilis BKF Kemenkeu pada 2022 mengestimasikan belanja perpajakan tahun depan sebagian besar diberikan untuk pelaku usaha UMKM senilai Rp61 triliun dan penyerahan barang pokok sebesar Rp52 triliun. Jumlah tersebut, sambungnya, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan insentif PPN dan PPnBM untuk sektor konstruksi yang hanya Rp368 miliar padahal efek penggandanya (multiplier effect) terhadap ekonomi lebih besar.
Dia menyimpulkan, terjadi ketimpangan besar antara insentif untuk menjaga daya beli dengan insentif yang berorientasi pada sektor-sektor yang memiliki efek pengganda. “Tapi perlu dicatat, hal ini bukan berarti insentif untuk UMKM dan sembako dikurangi, melainkan insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dioptimalkan,” tutupnya.
Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20240822/259/1793306/insentif-pajak-rp445-triliun-prabowo-dinilai-tak-efektif-tanpa-kepastian-hukum.