Bisnis.com, JAKARTA – Laporan terbaru Asian Development Bank (ADB) bersama bank investasi swasta yang bermarkas di Swiss, Credit Suisse, setidaknya terdapat 24.000 orang kaya atau kerap disebut crazy rich. Laporan tersebut mengelompokkan masyarakat high net worth individuals (HNWI) dengan penghasilan lebih dari US$5 juta atau paling sedikit sekitar Rp78 miliar (kurs Rp15.600 per dolar AS) pada 2021.
Secara perinci, ADB dan Credit Suisse mencatat terdapat 14.000 orang yang memiliki kekayaan antara US$5 juta hingga US$10 juta. Jika harta ini dikumpulkan dengan angka minimal US$5 juta, artinya kekayaan 14.000 orang ini mencapai Rp1.092 triliun atau hampir setara dengan kebutuhan belanja non-K/L dalam APBN 2023 yang mencapai Rp1.087,2 triliun.
Adapun penduduk Indonesia yang memiliki harta lebih dari US$10 juta atau sekitar Rp1,56 triliun sebanyak 10.000 orang. Faktanya, angka tersebut naik bahkan di kala ekonomi terdampak pandemi Covid-19. Laporan terbaru Credit Suisse memberikan gambaran pertumbuhan yang signifikan dalam kekayaan rumah tangga pada 2021, dengan memperkirakan bahwa kekayaan global secara keseluruhan tumbuh sebesar 12,7% dibandingkan 2020.
Adapun penerimaan pajak dari masyarakat kelas atas alias high net worth individuals (HNWI) ini tampaknya menjadi sasaran empuk bagi fiskus untuk masuk dalam radar pajak. Mengacu International Survey on Revenue Administration (Isora) 2018 yang diterbitkan Dana Moneter Internasional (IMF), badan penerimaan negara telah diminta melakukan pengawasan wajib pajak dengan menilai tingkat risiko para crazy rich.
Hampir 40% menjawab bahwa risikonya tinggi, sementara sekitar 30% mengatakan risikonya sedang. Di antara badan-badan pendapatan yang memberikan peringkat risiko tinggi pada saat itu, dua pertiganya tidak melaporkan memiliki unit khusus HNWI. Sementara Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang bertugas memungut pajak, diketahui telah memiliki unit khusus yang ‘memelototi’ harta para crazy rich.
Adapun, Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal tak menanggapi pertanyaan terkait hal ini. Di sisi lain, pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat pemerintah sendiri telah memiliki pertukaran informasi keuangan antaryurisdiksi atau yang dikenal sebagai The Automatic Exchange of Information (AEOI).
Pertukaran data ini memungkinan DJP mengetahui harta warga Indonesia yang berada di luar negeri. Termasuk rekening warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, misal Singapura, namun belum melapor pajak. “Jadi, aset WNI yang berada di luar negeri dapat menjadi potensi penerimaan pajak kalau selama ini belum dilaporkan. Tapi kalau sudah dilaporkan berarti sudah patuh,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Selasa (13/2/2024).
Meski demikian, Fajry menilai langkah pemerintah dalam melakukan tax amnesty dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) telah cukup membantu menangkap harta crazy rich untuk masuk radar fiskus. “Namun, kami melihat masih ada aset WNI di luar negeri yang belum dilaporkan dalam program PPS. Tapi saya yakin data itu sudah atau akan ditindaklanjuti oleh DJP, memang butuh waktu mengingat ada proses konfirmasi data dan sebagainya,” jelas Fajry.
Adapun hingga akhir 2023, DJP mencatat sebanyak 17,1 juta wajib pajak yang telah menyampaikan SPT masa pajak 2022 dari target 19,4 juta WP atau sekitar 88%. Jumlah ini cenderung stagnan dari realisasi penyampaian SPT yang juga sebanyak 17,1 juta WP pada 2022 untuk masa SPT 2021.
Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20240213/259/1740305/adb-dan-credit-suisse-catat-ada-24000-crazy-rich-di-indonesia-sudah-bayar-pajak.