KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Salah satu substansi yang akan diatur pemerintah pusat dalam Omnibus Law Perpajakan ialah mengenai rasionalisasi daerah. Hal tersebut dalam rangka menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Astera Primanto Bhakti menjelaskan, prinsipnya kebijakan rasionalisasi pajak daerah terdiri dari dua hal . Pertama, penentuan tarif tertentu atas pajak daerah yang berlaku secara nasional oleh pemerintah pusat.

Astera mengatakan, pada intinya pemerintah ingin agar pajak-pajak yang dikenakan masing-masing pemda tidak mengganggu iklim investasi di daerah tersebut.

“Karena investor kan butuh kepastian dan biasanya juga akan menghitung economic burden dari usaha mereka setelah dikenakan pajak,” tutur Prima dalam Media Briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Selasa (10/2).

Meski memang, Astera mengakui bahwa rasio penerimaan pajak daerah terhadap keseluruhan pendapatan asli daerah (PAD) sebenarnya relatif kecil yaitu hanya 2%-3%, sedangkan sisanya berasal dari transfer dana ke daerah oleh pemerintah pusat.

Namun hal tersebut tak menutup fakta bahwa sejumlah tarif pajak daerah menjadi pengganggu investasi. “Misalnya, ada tarif yang besarnya 5% padahal ternyata secara keekonomian harusnya hanya 2%-3%, maka ini harus dirasionalisasi dan pemerintah pusat bisa tetapkan tarif yang berlaku secara nasional,” lanjut Prima.

Contoh lain, ada tarif seperti pajak penggunaan air tanah yang berdasarkan perhitungan ternyata tumpang tindih dengan royalti yang telah dibayarkan oleh pengusaha. Maka pajak tersebut harus dirasionalisasi kembali.

Dengan begitu, persaingan antar daerah ke depan bukan diukur dari besaran pendapatan pajaknya melainkan dari seberapa besar insentif dan kepastian usaha di setiap daerah.

Yang kedua, Prima menjelaskan, Omnibus Law Perpajakan memberi ruang bagi pemerintah pusat untuk mengevaluasi peraturan-peraturan daerah (perda) yang menghambat kemudahan berusaha.

Evaluasi bisa dilakukan terhadap rancangan perda maupun terhadap perda yang sudah ada mengenai pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) oleh pemerintah pusat yang terdiri dari Kemenkeu dan Kemendagri.

“Kami akan mengevaluasi perda-perda yang terkait dengan PDRD dan dikaitkan dengan kebijakan fiskal nasional. Sebenarnya selama ini sudah dievaluasi, tapi  compliance pemda masih rendah dalam memberikan rumusan perdanya saat rapat perda. Maka nanti akan diatur,” ujar Prima.

Jika hasil evaluasi dan pengawasan mendapati perda tidak sesuai dengan kebijakan fiskal nasional, pemerintah pusat akan meminta rancangan perda diubah atau perda yang sudah ada untuk dicabut. Jika perda tetap tidak diubah, pemerintah berhak mengenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan dana transfer ke daerah.

“Memang harus mencari keseimbangan di sini, yaitu daerah tetap bisa meningkatkan PAD dan menjaga iklim investasi. Kami terus berkomunikasi dengan pemda melalui berbagai asosiasi maupun dengan Kemendagri,” tutur Prima.

Adapun berdasarkan draf RUU Omnibus LAw Perpajakan yang Kontan terima, nantinya kebijakan rasionalisasi tarif pajak akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Sementara, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan perda dan pengawasan perda PDRD akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

 

Artikel ini diambil dari https://nasional.kontan.co.id/news/omnibus-law-perpajakan-atur-rasionalisasi-pajak-daerah-dan-evaluasi-perda?page=all