Bisnis.com, MEDAN — Wajib pajak yang juga bos perusahaan pupuk di Binjai resmi menjadi tersangka merugikan keuangan negara. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatra Utara I (Kanwil DJP Sumut I) resmi menyerahkan tersangka kasus pidana perpajakan ini ke Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara (Kejatisu) dengan potensi kerugian Rp3,9 miliar.

Kepala Kanwil DJP Sumut I Arridel Mindra mengatakan, tersangka dalam kasus itu adalah Wajib Pajak dengan inisial DRS selaku direktur PT SDR, sebuah perusahaan di bidang perdagangan pupuk dan produk agrokimia yang beralamat di Binjai. Tersangka DRS diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang menimbulkan kerugian pada penerimaan negara sebesar Rp3.941.769.175.

Kerugian yang ditimbulkan lantaran dalam melaksanakan usahanya, PT SDR diduga mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar dengan cara mengkreditkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya pada kurun waktu tahun 2013 sampai dengan 2015.  “Modus perbuatan tersangka yaitu diduga dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan dan pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya,” kata Arridel dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (24/3/2024).

Dari pemeriksaan, tersangka DRS juga terbukti menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. BACA JUGA Penyegelan SPBU di Tol Jakarta-Cikampek, Mendag Zulhas Sebut Berpotensi Rugikan Negara Miliaran Rekrutmen Bersama BUMN 2024: Simak 5 Poin yang Harus Diperhatikan Saat Pendapaftaran Investasi di Smart Wallet Indonesia Mudus Robot Trading Bodong, OJK Minta Diblokir Perbuatan tersangka itu, kata Arridel telah melanggar Pasal 39A huruf a dan Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum. Beleid lain yang dilanggar yakni tentang Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Atas perbuatan Wajib Pajak tersebut dilakukan proses penegakan hukum pidana di bidang perpajakan,” lanjut Arridel. Adapun proses penegakan hukum dimaksud dimulai dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai ditingkatkan kepada Penyidikan yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pajak. Arridel menjelaskan, dalam proses penyidikan, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti (P-21), maka proses dilanjutkan dengan melakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (P-22) kepada Kejaksaan, untuk dapat dilakukan proses penuntutan dan pelimpahan perkara ke pengadilan oeh Jaksa Penuntut Umum.

“Dengan penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Kejaksaan Negeri (per 21 Maret 2024), maka proses selanjutnya menjadi tanggung jawab dari pihak Kejaksaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tambahnya. Kendati, WP yang terjerat pidana tersebut disebut Arriddel dapat menggugurkan status tersangkanya melalui kesempatan yang diberikan untuk membayar kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administrasi, sesuai Pasal 44B UU KUP, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP.

“Sehingga hal itu dapat menjadi pertimbangan dalam proses penuntutan tanpa disertai penjatuhan pidana penjara,” kata Arridel. Ia menegaskan, penegakan hukum yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan ditujukan untuk memberi efek jera. Masyarakat khususnya Wajib Pajak pun diminta untuk tetap mematuhi ketentuan perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajiban pajaknya.

Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20240324/259/1752231/wajib-pajak-di-binjai-dijebloskan-ke-penjara-bos-pupuk-rugikan-penerimaan-negara-rp39-miliar.