Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Undang-Undang (UU) No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 29 Oktober 2021, setelah disahkan oleh DPR RI pada 7 Oktober 2021. Beleid sapu jagad perpajakan ini diperkirakan dapat menambah penerimaan fiskal dari perpajakan hingga Rp120 triliun pada 2022.

Mandiri Research Group, dalam kajiannya, memperkirakan undang-undang reformasi perpajakan ini bisa menambah penerimaan perpajakan pada 2022 di kisaran Rp90 triliun sampai dengan Rp120 triliun, atau setara dengan 0,5-0,7 persen PDB. “[Angka itu] mendorong rasio pajak terhadap PDB ke 9,1 persen dari outlook tahun ini yaitu di 8,6 persen,” demikian dikutip dari kajian Mandiri Research Group yang dikutip Bisnis, Rabu (3/11/2021).

Dengan proyeksi tersebut, target untuk mencapai defisit APBN di bawah 3 persen dari PDB pada 2021 dinilai menjadi lebih memungkinkan. Hal itu karena penerimaan potensial dari reformasi perpajakan belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam APBN 2022. Namun, jika berdasarkan dampaknya terhadap ekonomi secara keseluruhan, Mandiri Research Group menyimpulkan bahwa dampak dari UU HPP tidak akan besar atau sebatas netral.

Kenaikan inflasi potensial yang dipicu oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang akan dinaikkan 11 persen di 2022 dan 12 persen di 2025 secara bertahap, diperkirakan terbatas hanya sebesar 0,3 bps (ppt) terhadap total inflasi. “Sebagaimana tingkat [inflasi] hanya meningkat hingga 1 persen dan makanan dasar masih dibebaskan dari pajak,” demikian dikutip dari kajian. Di sisi lain, kebijakan Pengungkapan Pajak Sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II, diperkirakan berdampak positif terhadap rupiah berkat repatriasi aset luar negeri.

Sejumlah kebijakan reformasi perpajakan yang diatur dalam UU HPP di antaranya yaitu: (1) Penambahan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 35 persen bagi wajib pajak (WP) berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahunnya; (2) Tarif PPh Badan akan tetap sebesar 22 persen pada 2022 hingga selanjutnya; (3) Tarif PPN ditingkatkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan menjadi 12 persen secara bertahap di Januari 2025; (4) Penciptaan peta jalan untuk pajak karbon dan perdagangan karbon, dengan implementasi kebijakan dimulai pada April 2022, terbatas untuk PLTU batu bara terlebih dahulu; (5) Pemberlakukan kebijakan PPS seperti tax amnesty pada 2016. Tarif yang ditetapkan yaitu 6-11 persen untuk aset yang diperoleh pada periode 1985-2015, dan 12-18 persen untuk yang diperoleh dari periode 2016-2020.

Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20211104/259/1462124/riset-bank-mandiri-uu-hpp-bisa-tambah-penerimaan-pajak-rp120-triliun-di-2022.