Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dianggap memiliki otoritas untuk mengakses transaksi kartu kredit.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan data kartu kredit bukan termasuk klasifikasi rahasia menurut UU perbankan dan perpajakan, sehingga untuk mendapatkannya tidak diperlukan izin ataupun aturan khusus.

“Hal ini pun bukan sesuatu yang baru dan pernah direncanakan sebelumnya. Bahkan, menurut Pasal 35A UU KUP [UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan], setiap instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib menyerahkan data kepada Ditjen Pajak,” paparnya dalam keterangan resminya, Senin (5/2/2018).

Selain itu, jenis data ini juga tidak termasuk dalam data atau informasi yang diatur menurut Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan atau UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-undang sehingga tidak perlu mengikuti aturan di UU, termasuk tentang ambang batas (threshold) yang wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak.

Data transaksi di kartu kredit menjadi salah satu data untuk profiling penghasilan wajib pajak melalui pendekatan konsumsi. Hasil profiling dapat menjadi salah satu sarana meningkatkan basis pajak dan kepatuhan pajak melalui analisis yang memadai.

Untuk itu, dinilai lebih tepat jika ambang batas tidak didasarkan pada jumlah tagihan dalam setahun yang dapat fluktuatif tapi pada limit tertentu pada kartu kredit. Prastowo mengusulkan seluruh kartu kredit dengan limit Rp100 juta ke atas wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak.

“Batas yang terlalu tinggi justru dikhawatirkan tidak optimal bagi tujuan intensifikasi dan ekstensifikasi. Ambang batas ini cukup moderat dan fokus menyasar ke kelompok berpenghasilan menengah atas,” jelasnya.

Meski demikian, mencermati situasi dan kondisi perekonomian, seyogianya waktu pemberlakuan ketentuan pemanfaatan data kartu kredit diperhitungkan. Sebaiknya didahului dengan pembuatan sistem atau tata cara pemanfaatan yang jelas, mudah, dan akuntabel. Pelaksanaan yang terburu-buru dan tanpa persiapan justru dipandang bakal mengundang kekhawatiran yang tidak perlu.

Pemerintah, lanjut Prastowo, harus mengantisipasi persepsi dan kekhawatiran yang munculkarena dapat memicu penurunan penggunaan kartu kredit dan justru dapat merugikan perekonomian nasional.

“Maka, perlu penetapan skala prioritas dan pengelolaan komunikasi dan momentum yang tepat karena isu pemanfaatan data lebih menyangkut persoalan privasi, bukan kerahasiaan. Institusi, sistem, dan aparatur yang profesional serta terpercaya akan sangat membantu peningkatan kepercayaan dan kepatuhan pajak,” tukasnya.

 

Artikel diambil dari http://finansial.bisnis.com/read/20180206/10/734938/polemik-kartu-kredit-otoritas-pajak-tetap-punya-otoritas