Bisnis.com, JAKARTA – Estimasi paling pesimistis adalah penerimaan pajak pada tahun ini tercatat -14 persen (year-on-year/yoy) atau di luar ekspektasi pemerintah yang menetapkan angka di kisaran -10 persen.

Hal ini dipicu oleh kontraksi ekonomi yang cukup dalam seiring dengan anjloknya kinerja sejumlah indikator perekonomian pada tiga bulan kedua tahun ini.

Data ekonomi pada kuartal II/2020 menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan, mengingat pertumbuhan ekonomi -5,32 persen. Padahal sebelumnya pemerintah menargetkan catatan ekonomi berada di kisaran -4,3 persen.

Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang memiliki kontribusi ke produk domestik bruto (PDB) sebesar 57,85 persen justru mencatatkan angka -5,51 persen.

Sementara itu dari sisi lapangan usaha, industri pengolahan secara yoy pada kuartal II/2020 pun -6,19 persen.

Rontoknya konsumsi dan manufaktur ini ikut memengaruhi kinerja penerimaan pajak hingga Juni 2020. Sebab, konsumsi memiliki kaitan erat dengan daya beli dan penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN.

Data Kementerian Keuangan per Juni 2020 mengonfi rmasi pelambatan ekonomi tersebut. Turunnya konsumsi atau daya beli telah mengakibatkan setoran PPN ke pemerintah tercatat -10,6 persen. Pajak penghasilan (PPh) korporasi pun demikian, karena per Juni 2020 tercatat -22,47 persen.

Pihak Kementerian Keuangan tidak bersedia memberikan komentar terkait dengan kemungkinan suramnya penerimaan pajak pada tahun ini.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama saat dihubungi Bisnis juga tak merespons mengenai permasalahan tersebut.

Di sisi lain, sulit untuk memungkiri bahwa penerimaan pajak akan kembali naik meski ada suntikan dari penerimaan PPN atas transaksi digital. Kendati demikian sebagian besar pengamat tetap berkeyakinan bahwa ekonomi Indonesia sulit untuk mencapai angka positif pada tahun ini.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa hasil perhitungan sementara model ekonominya, pertumbuhan pada 2020 berisiko negatif.

“Sekalipun kuartal IV/2020 sudah postif pertumbuhannya, namun positif kecil dan tidak dapat menutupi pertumbuhan negatif pada kuartal II/2020 dan III/2020,” ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.

Kinerja ekonomi yang kemungkinan turun ini tentu dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Misalnya pada kuartal II/2020, ketika pertumbuhan ekonomi hanya -5,32 persen dan realisasi pertumbuhan penerimaan pajak tercatat -12 persen, elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi atau tax buoyancy tercatat sebesar 2,25.

Artinya, setiap 1 persen kontraksi ekonomi, menghasilkan kontraksi penerimaan pajak sebesar 2,25 persen. Angka ini juga mengonfirmasi bahwa di saat perekonomian turun, penerimaan pajak justru makin elastis.

Dalam prognosis semester II/2020 pemerintah telah menargetkan pertumbuhan penerimaan pajak bisa dijaga di kisaran -10 persen. Namun, angka ini diperoleh jika pertumbuhan ekonomi pada 2020 bergerak di level positif.

Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200811/259/1277591/pertumbuhan-ekonomi-anjlok-penerimaan-pajak-bisa-kontraksi-14-persen