Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menegaskan tidak akan melakukan revisi terhadap UU APBN 2018 karena deviasi sejumlah asumsi makro dinilai masih dalam batas toleransi.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, pihaknya akan menyampaikan laporan pelaksanaan semester I dari APBN 2018 pada Juli 2018.

“Itu mekanismenya, perkembangan 6 bulan pelaksanaan APBN, itu saja, tidak pakai slide [revisi APBN], itu saja,” katanya di Jakarta, Senin (26/3/2018).

Askolani menjelaskan, tidak dilakukannya revisi APBN karena kondisi pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan harga minyak memberi dampak positif terhadap APBN.

Dia mengatakan, depresiasi nilai tukar rupiah dapat memberi dampak positif terhadap APBN karena sebagian pendapatan negara berupa valuta asing, yakni dari penerimaan migas dan penarikan pinjaman.

Meskipun, kata Askolani, ada juga beberapa belanja negara yang menggunakan valuta asing, yang mana memberi dampak negatif pada APBN ketika rupiah terdepresiasi. “Itu belanja subsidi dan pembayaran pokok utang,” imbuhnya.

Namun, pihaknya tidak memiliki perhitungan yang detail mengenai seberapa besar nilai tambah dan pengurang yang diberikan dari depresiasi rupiah tersebut.

“[Secara kumulatif] depresiasi itu agak positif dampaknya, jadi malah itu bisa mengurangi defisit tapi ke APBN,” imbuhnya.

Di sisi lain, kata Askolani, pihaknya juga memahami bahwa dampak pelemahan nilai tukar rupiah sangat buruk terhadap kegiatan ekonomi.

Mengenai kenaikan harga minyak, Askolani mengatakan, kenaikan tersebut juga memberi dampak positif terhadap APBN.

Dia mengatakan, setiap kenaikan US$1 harga minyak, negara mendapatkan penerimaan tambahan sebesar Rp1,1 triliun.

Berdasarkan UU APBN 2018, asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar ditetapkan sebesar Rp13.400, sedangkan asumsi harga minyak ditetapkan senilai US$48.

 

Artikel ini diambil dari http://finansial.bisnis.com/read/20180326/10/754382/pemerintah-tegaskan-tak-ada-revisi-apbn-2018