Bisnis.com, JAKARTA – Ditjen Pajak Kementerian Keuangan terus mendorong kepatuhan para politisi baik yang duduk sebagai wakil rakyat maupun yang duduk di eksekutif terkait dengan pelaporan pajak.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak  Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa kepatuhan selain masalah SPT, juga terkait menguji kepatuhan secara material. Apalagi, para politisi atau WP yang terlibat dalam politik praktis meski membayar pajak tinggi, belum tentu sebagai WP patuh.

“Ini sangat tergantung dari masing-masing individu, antara caleg maupun anggota DPR, tidak bisa digeneralisir bahwa mereka sudah patuh secara material,” kata Yoga dalam diskusi di Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Belum lama ini, nama sejumlah politisi masih bermasalah dengan kepatuhan pajak. Dalam sebuah laporan investigatif dari International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sejumlah nama politisi diduga menyembunyikan aset mereka di negara-negara surga pajak termasuk politisi dari Indonesia.

Kasus ini kemudian mendapat perhatian dari lembaga-lembaga penegakan hukum maupun intelijen di bidang keuangan.Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) misalnya, mulai memperketat pengawasan terhadap transaksi pejabat dan sejumlah profesi lainnya.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin misalnya pernah mengatakan salah satu terobosan yang disiapkan mereka yakni membuat aplikasi PEPs (Politically Exposed Persons).

Aplikasi itu dibuat untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (money laundry).

Langkah lembaga intelijen keuangan tersebut dilandasi oleh situasi kejahatan pencucian uang selama tahun kemarin. Bagi PPATK, sejumlah pengungkapan keterlibatan pejabat atau tokoh publik dalam perkara korupsi menunjukkan profesi tersebut rentan dengan tindak pidana money laundry.

Ada mekanisme yang tengah dirancang oleh PPATK terkait pengawasan tersebut, misalnya sebagai lembaga yang memiliki akses ke penyedia jasa keuangan baik bank maupun nonbank mereka bisa mendapatkan data terkait PEPs.

Dengan demikian, ketika nanti pihak pihak aparat penegak hukum membutuhkan data terkait dengan dana milik PEPs tersebut mereka akan mudah menyediakannya.  Bahkan, tak hanya PEPs-nya, pihak yang terafiliasi dengan PEPs tersebut juga bisa dilacak.

Sementara itu, Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan ketaatan pajak merupakan sesuatu hal yang sulit untuk diketahui oleh masyarakat luas. Informasi mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) dan profil kepatuhan wajib pajak, yang menjadi indikasi ketaatan pajak, umumnya merupakan informasi yang bersifat privat dan kerahasiaannya dilindungi oleh undang-undang.

Demikian pula halnya di Indonesia. Menurut Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dinyatakan bahwa setiap pejabat dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak dilarang untuk memberitahukan kepada pihak lain segala yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.

“Singkatnya, kerahasiaan tersebut menutup celah bagi publik untuk bisa menilai ketaatan caleg yang juga berstatus sebagai wajib pajak. Satu-satunya cara yang dimungkinkan adalah hanya melalui pengungkapan secara sukarela dari caleg yang bersangkutan,” ungkapnya.

Namun demikian, dalam kasus kndonesia, pengungkapan SPT secara sukarela belum menjadi tradisi yang dilakukan oleh para politisi yang akan duduk di kursi publik. Padahal, tradisi ini bisa mendorong adanya keteladanan publik dan menjelaskan profil dan gambaran umum mengenai kepatuhan pajak para politisi.

“Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa SPT tidak memberikan jaminan adanya kepatuhan secara materiil, apalagi suatu informasi detail untuk menguji hal-hal di luar pajak seperti: indikasi korupsi, etika, konflik kepentingan, dan sebagainya. Informasi indikasi tersebut agaknya mungkin bisa ditemukan dalam LHKPN,” ujarnya.

 

Artikel ini diambil dari http://finansial.bisnis.com/read/20180914/10/838229/ditjen-pajak-terus-dorong-kepatuhan-politisi