KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah melihat tingginya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal, menjadi tantangan dalam mengoptimalkan penerimaan pajak pada tahun depan.
Pasalnya, digitalisasi pada berbagai sektor ekonomi berdampak bagi kemudahan berusaha dan penyederhanaan proses bisnis.
Namun, jika peningkatan ini tidak dibarengi dengan kesiapan sistem perpajakan dalam menangkap aktivitas ekonomi digital maka akan berpotensi terjadi peningkatan penghindaran kewajiban perpajakan.
“Hal ini akan memengaruhi penerimaan perpajakan di masa mendatang akibat basis perpajakan yang stagnan karena tingginya shadow economy dan rendahnya kepatuhan perpajakan,” tulis pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan APBN 2023, dikutip Rabu (5/12).
Tidak hanya itu, perkembangan kontribusi sektor jasa terhadap perekonomian nasional yang semakin meningkat memberikan risiko bagi peningkatan sektor informal di Indonesia. Tingginya sektor informal juga terlihat dari jumlah dan distribusi tenaga kerja informal yang mencapai di atas 50% terhadap total tenaga kerja di Indonesia.
Pemerintah melihat, hal tersebut dapat memengaruhi kestabilan penerimaan perpajakan, mengingat sektor informal saat ini belum sepenuhnya tertangkap oleh sistem perpajakan di Indonesia, sehingga pelaksanaan kewajiban perpajakannya masih rendah.
“Meskipun demikian, pemerintah telah menerapkan pemberlakuan NIK menjadi NPWP guna memudahkan administrasi wajib pajak serta pemberlakuan pajak digital,” katanya.
Sebagai informasi, pemerintah mematok target penerimaan perpajakan pada tahun depan sebesar Rp 2.309,8 triliun, atau meningkat dibandingkan dengan outlook 2023 sebesar Rp 2.118,34 triliun.
Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-sebut-penerimaan-pajak-tahun-2024-dihantui-fenomena-shadow-economy