KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tax ratio atau rasio pajak Indonesia yang rendah menjadi salah satu penyebab beban fiskal bertambah. Asal tahu saja, tax ratio Indonesia pada tahun 2023 tercatat hanya sebesar 10,32%. Sementara pada tahun ini, tax ratio ditargetkan sebesar 10,12%.
Tax ratio tersebut masih kecil dibandingkan dengan negara Asia Pasifik yang mencapai 19,8%, serta negara OECD yang berada pada level 34%.
“Tax ratio kita hanya sekitar 10% nan dari PDB, padahal untuk bayar utang dari sana sekitar 1,5% dari PDB, itu cukup besar. Jadi ini yang menjadi masalah, dan bukan utang kita yang dalam rasio yang relatif rendah, tetapi tax ratio yang rendah, oleh karena itu reformasi di perpajakan sangat diperlukan,” tutur Raden dalam agenda bertemakan ‘Optimisme Baru Pembangunan Ekonomiera Pemerintahan Prabowo – Gibran,’ Kamis (29/8).
Raden menyebut, sebenarnya rasio utang Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Pada Juli 2024 rasio utang pemerintah turun menjadi 38,68% terhadap produk domestik bruto (PDB). Posisi tersebut masih di bawah batas aman yakni 60% dari PDB, sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Namun yang harus diperhatikan adalah beban fiskal yang ditanggung terlampau tinggi akibat tax ratio yang rendah.
Sebelumnya, Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Deni Ridwan mengatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki tax ratio rendah dibandingkan negara lainnya di kawasan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan tax ratio agar posisi Indonesia bisa memiliki kemampuan pembiayaan selevel di negara Asia Pasifik bahkan negara The Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD).
“Kita diskusi dengan analis, kita diskusi dengan rating agency. Indonesia itu problemnya bukan di utang. PR Indonesia adalah dari sisi penerimaan pajak,” ujar Deni dalam acara Sosialisasi Peran Pembiayaan APBN dan Edukasi Literasi Investasi SBN Ritel seri SBR013, Jumat (21/6).