KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Usulan kenaikan pajak atas rumah tapak oleh pemerintah menuai tanggapan dari sejumlah kalangan.
Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono, yang mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam merancang kebijakan pajak baru.
Menurut Prianto, dalam transaksi jual beli rumah tapak terdapat tiga komponen pajak utama yang harus diperhatikan.
Pertama, pajak penghasilan (PPh) Final 2,5% dari harga jual rumah, yang dibayarkan oleh penjual. Meskipun ditanggung penjual, beban ini kerap dialihkan ke pembeli lewat kenaikan harga jual.
“Pajak ini ditanggung penjual meski seringkali beban pajaknya ditambahkan di dalam margin penjualan sehingga harga jualnya dinaikkan,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (8/6).
Kedua, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari harga beli rumah. Pajak ini dibebankan kepada pembeli sesuai peraturan daerah masing-masing.
Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) 12% dari harga jual, kecuali jika unit rumah mendapat fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP). Dalam praktiknya, pembeli tetap menanggung beban sebesar 11% (12% dari 11/12) dari harga jual rumah.
Prianto menyatakan, dalam menyusun kebijakan pajak, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan teori ekonomi seperti Kurva Laffer, yang menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara.
“Kurva Laffer menggambarkan tarif pajak diantara 0% dan 100%. Ketika tarif pajak ada di titik ekstrem 0% atau 100%, negara tidak akan mendapatkan penerimaan pajak paling tinggi,” kata Prianto.
Oleh karena itu, usulan kenaikan tarif pajak biasanya akan disimulasikan dengan potensi penerimaan pajak berdasarkan Kurva Laffer.
Prianto menekankan, usulan kebijakan apa pun pasti akan memunculkan pro dan kontra. Pihak yang mendukung kebijakan kenaikan pajak mungkin berargumen dari sisi penerimaan negara.
Namun di sisi lain, pihak yang menolak akan menyoroti bertambahnya beban masyarakat, terutama di tengah harga rumah yang terus melambung.
“Semakin tinggi tarif pajak, semakin berat beban yang harus ditanggung oleh masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengusukan agar para pembuat kebijakan membuka ruang dialog dan menampung seluruh pandangan, baik yang mendukung maupun yang menolak.
Sebagai informasi, rencana kenaikan pajak tinggi untuk setiap pembangunan rumah tapak ini disampaikan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah dalam acara Simposium Nasional Sumitronomics, Selasa (3/6).
Menurutnya, langkah tersebut bisa menjadi solusi untuk merealisasikan fokus pemerintah dalam menggalakkan hunian vertikal, seperti apartemen dan rumah susun (rusun).
“Nanti yang bikin rumah landed pajaknya dinaikin saja sampai dia gak bisa tinggal di landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun,” kata Fahri.
Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-pajak-ingatkan-risiko-kenaikan-pajak-rumah-tapak