Bisnis.com, JAKARTA – Janji dua pasangan calon dalam kampanye Pilpres 2019 untuk menurunkan PPh badan, pribadi serta usaha mikro harus didahului Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP).
Sebagai catatan, revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) hingga saat ini masih mandek di meja DPR. Padahal, pengajuan revisi sudah disampaikan sejak 2015.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menuturkan pembenahaan sistem administrasi perpajakan harus diprioritaskan terlebih dahulu sebelum melakukan pemangkasan atau revisi aturan PPh.
“Pembahasan ketentuan umum perpajakan [KUP] harus dilakukan karena itu yang menjadi dasar bagi wajib pajak membayar pajaknya di-rate berapa dan apa sudah berkeadilan atau belum,” kata Enny, Selasa (26/3/2019).
Dia mencontohkan PPh badan yang memiliki sektor luas sehingga aturannya harus komprehensif sebagai panduan.
Kalau tidak ada aturan atau panduan yang tepat dan pemerintah langsung ‘tebas’ dikhawatirkan memicu moral hazard karena wajib pajak akan memanfaatkan celah untuk membayar pajak serendah mungkin.
“Penerimaan pajak akan semakin tidak optimal. Artinya, setiap [wacana] kebijakan harus disiapkan dulu panduannya, kerangka dan payung hukumnya,” tegas Enny.
Tidak hanya memicu moral hazard atau penyimpangan moral, Enny melihat potensi terjadi multitafsir bagi petugas pajak dan wajib pajak karena panduan dan payung hukumnya tidak jelas.
Enny menilai wacana memangkas PPh sebenarnya cukup baik, apalagi PPh badan, mengingat potensi persoalan transfer pricing perusahaan multinasional yang sering menjadi sorotan.
Pada 2015, Kementerian Keuangan sebenarnya sudah mendata sekitar 3.000 perusahaan multinasional yang tidak membayar pajak karena tercatat rugi. Hal ini menjadi pertanyaan besar.
Seperti diketahui, perusahaan multinasional biasanya mencatat bebannya di Indonesia, tetapi keuntungannya selalu terbang ke negara asal. Salah satunya, kata Enny disebabkan oleh PPh badan di Indonesia yang kurang kompetitif.
Enny juga mempertanyakan mengapa janji pemangkasan PPh, yaitu PPh badan, kembali digulirkan oleh kubu petahana. “Kalau ini hanya muncul di tahun politik saja, ini menimbulkan spekulasi bahwa ini hanya politisasi saja,” tegas Enny.
Kubu pasangan calon Jokowi-Ma’ruf Amin mengungkapkan wacana memangkas tarif PPh badan.
Presiden Jokowi mengakui pihaknya sudah beberapa kali bertemu Apindo, Kadin dan Hipmi untuk membicarakan terkait dengan revisi PPh badan tersebut agar dapat mendorong daya saing produk-produk Indonesia dalam negeri.
Dia mengaku bingung jika rencana pemotongan PPh badan tersebut belum selesai.
“Saya enggak ngerti kenapa belum rampung-rampung. Saya enggak tahu hitungannya seperti apa,” ujar Jokowi beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan pihak Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak hingga saat ini belum menyerahkan proposal terkait dengan PPh badan ini ke meja kerjanya.
“Kami ingin betul, pajak kita tidak memberatkan pengusaha tetapi memberikan dorongan kepada pengusaha agar mau berinvestasi dengan modal yang mereka miliki,” ujarnya.
Sementara itu, pasangan calon Prabowo-Sandiaga Uno melancarkan janji melakukan pemangkasan PPh pribadi dan PPh usaha mikro jika terpilih nanti. Bahkan, Sandiaga Uno secara langsung menegaskan akan meniadakan pajak bagi UMKM dan startup atau usaha rintisan selama dua tahun.
Kemudahan untuk perusahaan rintisan sudah diakomodisi lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai pengganti atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Di dalam beleid ini, pemerintah telah memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari 1 persen menjadi 0,5 persen.
Artikel ini diambil dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190326/259/904576/janji-kampanye-turunkan-pph-harus-didahului-pembahasan-kup