Bisnis.com, JAKARTA – DPR RI meminta Kementerian Keuangan untuk meninjau ulang tarif pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen, terhadap produk pengolahan setengah jadi dari nikel menjadi stainless steel atau dari timah menjadi ingot (batang logam).
Dalam rapat dengar pendapat pada pekan lalu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan bahwa pengenaan PPN 11 persen pada produk pengolahan setengah jadi tersebut tidak adil. Kebijakan ini pun dinilai memberatkan pelaku industri dalam negeri.
“Memang ini sangat-sangat dikeluhkan industri dalam negeri yang mau memakai produk turunan dari nikel. Harus dipajaki 11 persen, sementara kalau ekspor malah tidak dikenakan 11 persen. Kan tidak adil ini. Daya saing barang dalam negeri jadi lebih mahal 11 persen,” ujarnya. Dia pun meminta Kementerian Perindustrian untuk mengusulkan peninjauan atas pengenaan PPN 11 persen terhadap produk pengolahan setengah jadi.
Upaya itu, kata Sugeng, bertujuan agar industri pengolahan lanjutan dapat lebih kompetitif. Dihubungi terpisah, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menuturkan pengenaan PPN tersebut sudah lama dikeluhkan oleh dunia usaha dan semakin kuat sejak kenaikan tarif PPN diberlakukan pada 2022.
Menurutnya, kebijakan tersebut memang tidak adil karena ketika barang setengah jadi ditransaksikan di dalam negeri akan terkena PPN 11 persen. Namun, saat diekspor, tidak ada tarif pajak yang dikenakan dalam transaksi tersebut.
“Kebijakan ini melemahkan daya saing industri dalam negeri dan justru memperkuat daya saing industri negara lain,” kata Yusuf kepada Bisnis, Minggu (25/6/2023). Dia menegaskan bahwa sebaiknya daya saing industri hilir didorong seiring dengan gembar-gembor pemerintah terkait dengan hilirisasi tambang. Oleh karena itu, Yusuf berpendapat agar kebijakan tersebut dapat ditinjau ulang agar daya saing industri hilir meningkat.
Sementara itu, Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar berpendapat ketika pajak 11 persen atas produk pengolahan setengah jadi dibebaskan, maka pelaku industri tidak bisa mengkreditkan pajak masukan sehingga masuk ke perhitungan biaya.
“Dan pada produk setengah jadi, jika mendapatkan fasilitas dibebaskan malah merugikan mereka. Beban pajak pada produknya akan meningkat karena pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan tersebut,” pungkasnya.
Artikel ini diambil dari: https://ekonomi.bisnis.com/read/20230625/259/1668936/dpr-minta-kemenkeu-tinjau-ulang-pengenaan-ppn-11-persen-atas-produk-olahan-setengah-jadi.