Bisnis.com, JAKARTA – Jika benar efektif diterapkan, PMK No. 210/PMK.010/2018 yang mengatur mengenai kewajiban perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik akan memperbaiki peforma penerimaan PPN dalam negeri.
Dalam ketentuan yang diterbitkan pemerintah pada akhir tahun lalu disebutkan bahwa semua penyedia platform marketplace baik yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar atau di bawah angka tersebut tetap diwajibkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Dengan penetapan sebagai PKP, maka mereka wajib memugut, menyetor, dan melaporkan pajak ke Ditjen Pajak.
Potensi transaksi e-commerce di Indonesia dianggap cukup besar, berdasarkan laporan Google dan Temasek 2018, nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US$12,2 miliar atau jika dihitung menggunakan kurs Rp14.000 nilainya sebesar Rp170,8 triliun. Nilai itu pada 2025 diperkirakan melesat menjadi US$53 miliar.
Jika mengambil nilai tersebut, potensi PPN yang bisa dipungut bisa senilai Rp17,08 triliun. Hanya saja, nilai tersebut dihitung dari angka berdasarkan pesanan. Sementara itu, jika dihitung data nett marchandise value atau dasar transaksi yang sudah dibayar nilainya bisa berubah.
Adapun sebelumnya, kinerja PPN dalam negeri sampai dengan akhir tahun lalu masih menunjukkan pertumbuhan yang kurang bergairah. Bahkan ada kecenderungan terus menyusut dibandingkan dengan bulan atau tahun sebelumnya.
Data Ditjen Pajak menunjukkan kinerja PPN dalam negeri hanya mampu tumbuh pada angka 6,57% atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu yang mampu mencatatkan kinerja pada angka 15,14%. Kondisi ini jauh berbeda dengan pertumbuhan PPN impor yang mampu tumbuh hampir 25% pada tahun lalu.
Pemerintah sendiri mengklaim PMK 210/2018 yang mengatur perlakuan perpajakan bagi e-commerce menjamin perlakuan adil dan setara (equal treatment) antara e-commerce dan konvensional, dan mempertegas bahwa tidak ada pengenaan pajak baru atas e-commerce.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, aturan itu intinya mewajibkan penyedia platform marketplaceuntuk ber-NPWP dan menjadi PKP serta memungut PPN atas penyerahan jasa wadah (platform) marketplace kepada pedagang/penyedia jasa (pelapak).
“Penyedia platform marketplace tidak memungut PPh ataupun PPN atas penjualan yang dilakukan oleh pelapak. Mereka hanya diminta untuk mewajibkan pelapak menyampaikan NPWP atau NIK dalam hal pelapak belum punya NPWP, dan menyampaikan rekapitulasi transaksi perdagangan para pelapak kepada DJP,” kata Yoga, Jumat (11/1).
Bagi para pedagang atau penyedia jasa (pelapak), mereka melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan umum. Untuk PPh misalnya, kalau omzet sampai dengan Rp 4,8 M setahun (gabungan dari e-commerce maupun konvensional), mereka bisa memanfaatkan tarif PPh final UMKM 0,5% sesuai PP 23/2018.
Pelapak juga melaksanakan kewajiban PPh secara self assessment (hitung, bayar dan lapor sendiri melalui SPT Tahunan).
Para pelapak yang omzetnya kurang dari Rp4,8 miliar juga tidak wajib menjadi PKP, sehingga tidak wajib memungut PPN atas penjualan yang dilakukannya.
Sebaliknya kalau sudah lebih dari Rp4,8 miliar, pelapak wajib menjadi PKP dan memungut PPN dan PPnBM sesuai ketentuan. Jadi ini masih dalam konteks ketentuan umum saja.
“Ketentuan tersebut berlaku mulai 1 April 2019 sehingga cukup waktu bagi DJP untuk mensosialisasikan, dan para stakeholder untuk memahami dan mempersiapkan kewajibannya,” jelasnya.
Artikel ini diambil dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20190114/259/878584/berapa-besar-potensi-pajak-e-commerce-ini-penjelasannya