Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah obral insentif dalam bentuk pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) atas bunga, dan sanksi denda terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran dalam tindak pidana perpajakan.
Ketentuan tersebut termaktub di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha yang menjadi aturan turunan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam rancangan regulasi itu, tarif PPh Pasal 26 atas bunga masih belum disebutkan secara terperinci. Namun demikian, pemerintah memastikan tarif tersebut di bawah 20 persen.
Selain itu, pemerintah memberikan pengurangan denda atas sanksi administrasi menjadi 100 persen, dari sebelumnya sebesar 150 persen sebagaimana tercantum di dalam PP No. 74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Pasal 7 RPP tersebut tertulis, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya apabila tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
Diskon yang diberikan pemerintah melalui RPP tersebut memiliki tujuan utama untuk meningkatkan investasi di Tanah Air.
Termasuk di dalamnya membenahi ekosistem investasi yang sering dikeluhkan oleh para penanam modal, baik asing maupun domestik.
Akan tetapi, menurut pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, kucuran insentif pajak yang deras tidak selalu linier dengan masuknya investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di Tanah Air.
Dia menjelaskan, laporan Ease of Doing Business (EODB) atau tingkat kemudahan berusaha memperlihatkan bahwa peringkat paying taxes atau membayar pajak Indonesia terus mengalami perbaikan semenjak 2016 silam.
Bahkan peringkat paying taxes Indonesia saat ini menjadi yang terbaik kedua di Asean. Faktanya, Indonesia belum menjadi tujuan utama relokasi investasi dari China.
Sebaliknya, mayoritas investor global lebih memilih Vietnam sebagai ladang investasi baru.
Dengan kata lain, pemotongan tarif pajak bukan menjadi isu yang penting untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Indonesia.
“Ini kan memunculkan pertanyaan, kalau sudah menjadi salah satu yang terbaik kenapa perlu insentif atau relaksasi tambahan?” tanya Fajry saat dihubungi Bisnis, Kamis (21/1).
Oleh karena itu, dia menyarankan kepada pemerintah agar berbagai relaksasi pajak ini disertai dengan basis bukti yang kuat dan dilengkapi dengan kajian ilmiah mengenai keterkaitannya dengan investasi.
Pasalnya, makin banyak insentif yang diberikan maka belanja pajak atau tax expenditure yang dikeluarkan oleh pemerintah makin besar.
“Lalu desain [insentif pajak] yang tepat seperti apa? Karena, dengan diberikannya berbagai macam relaksasi, artinya ada potensi penerimaan yang berkurang,” ujarnya.
Sekadar informasi, banyaknya fasilitas fiskal yang disediakan oleh pemerintah tidak memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian nasional.
Hal itu tertulis di dalam ‘Laporan Belanja Perpajakan 2019’ atau ‘Tax Expenditure Report 2019’ yang dirilis oleh Badan Kebijakan
Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan belum lama ini.
Dalam laporan tersebut, BKF mencatat jumlah potensi penerimaan pajak yang hilang dari kebijakan insentif yang hanya berbentuk tax allowance mencapai Rp1,03 triliun pada 2017 dan Rp0,79 triliun pada tahun 2018.
Laporan itu makin menegaskan bahwa pemerintah memerlukan kajian yang lebih mendalam terkait dengan penerbitan insentif untuk pelaku usaha dan investor, termasuk industri yang disasar sebagai penerima.
Sementara itu, pemerintah berkeyakinan iklim investasi di Indonesia membaik sejalan dengan penerapan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.
Artikel ini diambil dari: Pikat Investor, Pemerintah Siap Bagi-Bagi Insentif untuk Kemudahan Berusaha – Ekonomi Bisnis.com