KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan target penerimaan pajak tahun depan seharusnya bisa tumbuh 8%. Angka tersebut mengkalkulasi target pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 5% dan inflasi 3%.
“Sewajarnya bisa tumbuh 8%, Itu kalau tax buoyansi sama dengan satu, lebih bagus kalau bisa di atas satu. Ini yang ingin kami bangun arahannya ke sana,” kata Febrio dalam Konferensi Pers, Senin (12/10).
Febrio menyampaikan memang belakangan penerimaan pajak sulit tercapai karena situasi ekonomi dan beberapa reformasi perpajakan di sektor usaha belum semuanya tuntas. Makanya, pada tahun lalu ada ketimpangan antara kontribusi sektor usaha terhadap penerimaan pajak dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan data Kemenkeu, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional pada 2019 mencapai 20,5%. Sementara, kontribusinya terhadap penerimaan pajak yang 27,4%.
Kemudian, sektor perdagangan berkontribusi 13,6% terhadap PDB dan 18,67% terhadap penerimaan pajak. Lalu, kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan pajak pada 2019 sebesar 1,34%, jauh dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian kepada PDB 2019 yang mencapai 13,3%.
Begitu pun dengan sektor konstruksi dan real estate dengan kontribusi kepada penerimaan pajak 2019 sebesar 6,77% dengan sumbangsih kepada PDB pada tahun yang sama mencapai 14,1%. “Jadi, ada sektor yang beban pajaknya cukup besar seperti manufaktur dan perdagangan. Kemudian masih ada yang kontribusinya relatif rendah seperti sektor pertanian serta konstruksi dan real estate. Aspek ini kami pelajari. Apakah kebijakan perpajakan saat ini sudah fair” kata Febrio.
Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo menambahkan, tahun 2021 reformasi perpajakan diarahkan dalam lima hal. Pertama, optimalisasi pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Kedua, ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Ketiga, pemeriksaan, penagihan, dan penegakan hukum yang berbasis risiko dan berkeadilan.
Keempat, meneruskan reformasi perpajakan meliputi bidang organisasi, SDM. IT, dan basis data, proses bisnis, serta peraturan pajak. Kelima, pengembangan fasilitas kepabeanan dan harmonisasi fasilitas lintas Kementerian/Lembaga (K/L). “Harapan kami perluasan basis, paling tidak tadi subjek pajak baru muncul,dan memperluas basis dengan mempermudah proses bisnis di DJP. jadi konteks policy ini tidak lepas dari konteks administrasi juga,” ujar Suryo dalam kesempatan yang sama, Senin (12/10).
Kendati demikian, Suryo mengatakan penerimaan pajak tahun depan akan tergantung dari aktivitas ekonomi seiring dengan pemulihan. Suryo juga memastikan, otoritas pajak tetap akan menggunakan instrumen fiskalnya melalui insentif pajak yang bertujuan menjaga stabilitas dunia usaha. “Jadi hal-hal terkiat dengan risk bagaimana policy ini akan mengubah mengenai besaran, turun tarif pajak, pasti menurunkan berapa yang dibayarkan itu sudah kami kalkulasi seluruhnya sudah kami perhitungaan kami forecast menjadi APBN 2020 dan APBN 2021,” ujar Suryo.
Makanya mesti Kemenkeu berharap penerimaan pajak tahun depan bisa tumbuh 8%, tapi secara resmi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 pemerintah masih menargetkan penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp 1.229,6 triliun, tumbuh hanya 2,5% dari target tahun ini yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2020 senilai Rp 1.198,8 triliun.
Potensi pajak digital
Di sisi lain, Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan potensi pajak digital di Indonesia relatif besar dibandingkan negara tetangga, terutama jika mengingat Indonesia sebagai negara pasar.
Pengamat Pajak DDTC mencatat ada beberapa aspek yang dapat meningkatkan potensi pajak digital. Pertama, optimalisasi pajak pertambahan nilai (PPN). Menurutnya, selama ada penambahan pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN serta adanya pengaturan mengenai skema sanksi, maka bisa lebih optimal.
Kedua, pajak penghasilan (PPh) perusahaan digital lintas yurisdiksi, ini sesuatu yang masih belum memiliki kepastian. Organization on Economics for Co-operation and Development (OECD) sendiri telah memiliki blueprint yang terdiri atas dua pilar, tapi membutuhkan konsensus bersama yang memiliki tantangan secara politis.
Menurut Bawono, cetak biru OECD terutama pilar dua juga akan memberikan dampak penerimaan bagi negara berkembang dengan pasar besar seperti Indonesia. Sementara itu, Bawono mengimbau pengenaan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah.
“Di sisi lain, ide mengenai aksi unilateral melalui PTE adalah sesuatu yang bisa kita pertimbangkan sebagai skenario antisipatif,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Senin (12/10).
Ketiga, selama informasi mengenai pihak serta nilai transaksi yang dilakukan dalam ekosistem digital Indonesia belum diketahui secara detail, maka kepatuhan pajaknya akan sulit dioptimalkan.
“Selain informasi, juga dibutuhkan terobosan untuk menjadikan pihak digital platform sebagai pihak yang berperan dalam administrasi perpajakan Indonesia, baik dalam sosialisasi, identifikasi dan pengumpul data, hingga pihak pemotong/pemungut pajak,” ujar Bawono.
Setali tiga uang, perluasan basis pajak digital diperkirakan dapat menambah pundi-pundi penerimaan pajak tahun depan, dengan catatan pos penerimaan jenis pajak lain tumbuh karena pemulihan aktivitas ekonomi.
Artikel ini diambil dari: https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-putar-otak-agar-penerimaan-pajak-tahun-depan-naik-8-1?page=all