Bisnis.com, JAKARTA – Ditjen Pajak menyatakan kebijakan tax exemption atau pengecualian pajak dianggap sebagai biang kerok ketidakefisienan pemungutan PPN dan berpotensi distortif ke perekonomian.
Namun demikian, sebagian pengamat menganggap pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan. Pasalnya, pemerintah dianggap belum cukup serius mengukur dampak dari implementasi tax exemption yang sebenarnya masih bagian dari konsep tax expenditure.
“Problem kita sebenarnya adalah bukan pada apakah pengecualian pajak ini distortif atau tidak. Tapi tak pernah mengukur dampaknya baik positif maupun negatif,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, Senin (23/4/2018).
Pada dasarnya, kata dia, kebijakan tax exemption diterapkan karena klasfikasi barang merupakan kebutuhan pokok dan administrasi yang belum bagus. Prastowo tak memungkiri bahwa pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok dimungkinkan untuk diterapkan.
Akan tetapi, kebijakan tersebut juga harus melihat dampak turunannya misalnya dampaknya ke inflasi, daya beli rumah tangga, dan potensi beban administrasi yang tinggi. Apalagi, saat ini struktur perekonomian Indonesia juga masih didominasi oleh sektor Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan informal.
“Tetapi saya setuju jika tax expenditure itu diperhitungkan di komponen penerimaan, dimasukan sebagai pembilang atau dikurangkan sebagai penyebut,” jelasnya.
Adapun sebelumnya Ditjen Pajak menganggap banyaknya exemption atau pengecualian pajak yang diterapkan pemerintah saat ini menyebabkan pemungutan pajak tak optimal. Selain itu, pembebasan PPN juga berpotensi mendistorsi perekonomian.
Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Ditjen Pajak, mengatakan bahwa skema pemungutan PPN dilakukan secara tidak langsung tetapi pengenaannya berantai. Dengan demikian, jika ada satu sektor dalam rantai itu tak dikenakan PPN, akan mempengaruhi harga akhiran di tangan konsumen.
Hal itu terjadi, lantaran sektor yang dikenakan exemption tak bisa mengkreditkan pajak masukan. Sebagai contoh, seorang pengusaha karet untuk mengolah lahan karetnya membutuhkan sebuah traktor. Namun karena karet dibebaskan, pajak masukannya tak bisa dikreditkan.
Akibatnya, pembelian traktor tersebut kemudian dibebankan sebagai biaya produksi. Dengan bertambahnya biaya produksi tersebut, harga barang akhir di tingkat konsumen juga akan relatif tinggi.
“Ini akan berantai, jadi kalau semakin banyak yang dibebaskan, selain mendistorsi ekonomi juga mengakibatkan inefisiensi pemungutan PPN,” kata Yoga belum lama ini.
Artikel ini diambil dari http://finansial.bisnis.com/read/20180423/10/787719/distorsi-ekonomi-akibat-kebijakan-pajak-masih-perlu-diperdebatkan